Jumat, 17 Agustus 2012

TIDAK HARUS MESIR By. Huda Shidqie

Cerita ini dimulai pada hari Selasa. Tepatnya 12 Januari 2010. Saat aku benar-benar terlena pada sebuah kata kunci “MIMPI” yang semakin hari semakin meradang bahkan sampai merongrong sumsum jiwaku. Saat belajar malam usai, sekitarku digemparkan dengan pemanggilan anak-anak peserta study tour ke Mesir. Aku pun menyeruak ke tengah kerumunan dan mencari tahu berita ini. Jantungku berdenyut hebat ketika aku tahu bahwa mereka adalah utusan pertama yang terpercaya dan disaring secara intensif melaiui musyawarah antar guru pengajar dan pihak yang menyelenggarakan. Sayangnya tak ada namaku di sela-sela pembicaraan mereka. Yang ada, aku hanya termangu hampa dengan angan-angan kosong yang sia. Hingga sholat Subuh datang lamunanku masih terisi penuh dengan bayang-bayang dengan study tour yang kini tengah menari tepat di depan mataku. Karena kuyakini, itu akan menjadi jalan pertama yang membawaku terbang jauh melangkahi ruas-ruas dunia, merangkul asa, dan menaklukan mimpi menjadi nyata. Tapi, ah! Itu hanya khayalan, nyatanya aku masih di sini tanpa apapun yang bisa mengimi-imingi. Hari Selasa, tepat setelah olah raga pagi adik kelas memanggilku tergesa dan bilang kalau ada ustadzah yang mencariku. “Untuk apa???” pikirku. Karena sejauh ini aku tidak merasa ada urusan apa-apa dengan ustadzah apalagi staf KMI yang mencariku. Aku langsung beranjak ke depan kamarku dan menemuinya. Tak ada nada tinggi ataupun omelan. “Hhhhh, aman!” gumamku. Tapi yang diherankan, aku malah mendatangi kantor KMI pagi itu juga. Tanpa bersepatu, ustadzah mengizinkanku. Sesampai di kantor KMI, aku dihadapkan oleh dua orang ustadz yang mengawali pembicaraan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupanku. Aku tetap tak paham. Tapi biarlah kujawab dengan apa adanya. Karena aku tak bisa berpikir apapun saat itu. Setelah beberapa pertanyaan selesai, ternyata ustadz yang mengujiku tadi bilang kalau aku dinobatkan menjadi salah satu peserta study tour yang menjanjikan itu. Senyum tidak, sedih pun tidak juga. Aku hanya menerawang tanpa ekspresi apapun. “Ya Allah benarkah ini?” Aku senang bukan kepalang. Walau tanpa ekspresi yang menyertai, aku bisa langsung menghirup hawa panas dari bnetangan Sahara dan panorama piramida. Naik pesawat ataupun menembus awan seperti yang diceritakan guru-guru atau orang sebelumku. Juga mumi Fir’aun yang terpajang sebagai bukti kebesaran Allah dan patung Spynx yang biasa kulihat di buku sejarah semenjak menduduki bangku SD. Mungkin sebentar lagi, aku akan menyaksikan semua itu dengan nyata dan dengan mata kepalaku sendiri. Karena asyiknya mengkhayal tentang apa yang terjadi nanti, aku mengabaikan perkataan ustadz yang kemudian mengulanginya hingga dua kali. Kutipannya begini, “Kamu harus bersyukur karena Allah telah memberiku kesempatan untuk bisa mengikuti progrm ini. Akan tetapi, untuk study tour ini pondok hanya membebanimu setengah pembayaran yakni 12 juta rupiah.” Deg! Jantungku yang tadinya berdegup ceria kini mematung dan diam terpana. “Dari mana aku mendapat uang sebanyak itu? Apakah sebuah mimpi harus dibayar dengan lembaran uang? Apakah selama ini aku salah dalam penafsiran teori mimpi?” pertanyaan itu terus saja membanjiri benakku. Sesaat kemudian aku disuruh menelepon orang tuaku untuk mendapat kepastian dan perijinan. “Assalamu’alaikum, Mi.....” ucapku saat mengawali pembicaraan. “Ummi aku mau ngomong sama ayah.” Ummi pun mengiyakan. Hatiku masih berdebar bagaimana cara menjelaskan semuanya pada ayah. “Ayah... aku dapat kesempatan study tour ke Mesir.” “Alhamdulillah.....” “Tapi yah, pondok memberikan keringanan pembayaran menjadi.....” “Menjadi berapa?” “Hmmm.... dua belas juta, yah,” suaraku mulai terdenagr lirih. Aku tak mendengar sepatah kata pun dari ayah. Hingga beberapa saat ayahku menjawab, “Hmmm.... ayah sekarang Cuma ada setengahnya..... bisa nggak?” ayah semakin lirih. “Ayah, aku pengen..... tapi....” “Nanti aja, ayah musyawarah dulu sama ummi. Mungkin jam dua siang baru bisa kasih kabar lagi. Nggak usah dipikirin dulu. Nanti hasilnya pasti yang terbaik. Sekarang kamu lagi ujian kan? Fokus belajar dulu.” “Ya yah, do’ain aku. Kirim salam buat ummi sama sekeluarga. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam...” Aku kembali ke kelas, tapi perasaaanku belum juga tenang. Antara meneruskan mimpi atau mengabaikan kasih sayang orang tua. Suasana kelas mendadak ramai. Semua memberiku semangat dan mensupportku. Mereka sibuk memberiku wejangan tentang oleh-oleh atau objek foto yang harus diburu di Mesir nanti. Tanpa mereka ketahui, aku menangis di dalam hati di tengah keramaian mereka dan perasaan terdalam serta kebingungan yang melanda. Apalagi, kini aku tengah ujian pelajaran sore. Sama sekali tak dapat memfokuskan belajar pada hari ini. Yang ada hanya perasaan bingung dan apa yang terjadi nanti pada jam dua siang. 13.45 WIB Aku melihat jarum jam yang bergeser ke kanan. Tanpa berhenti. Seraya aku menghela nafas. Seperempat jam lagi bisa dipastikan ayah akan menelepon kantor KMI dan mengabari perihal keikutsertaan atau tidaknya aku. Tiga puluh menit berlalu. Aku semakin was-was dan TENG! Bel tanda usainya ujian berbunyi dan aku langsung mengumpulkan kertas jawaban yang sama sekali tak menentu kebenaran isinya. Sepulang dari kamar aku langsuing mengganti baju dan sholat Ashar. 15.45 WIB Aku memulai langkah dengan basmalah, menuju kantor KMI dan menanyakan apakah ayahku sudah menelepon atau belum. Di sepanjang perjalanan aku berdo’a, “Ya Allah, jika kepastian itu benar dan aku bisa berangkat, berikanlah aku kelapangan agar tetap bersyukur. Namun, jika itu semua harus tertunda, berikanlah aku pula kelapangan hai dan jadikanlah pula hari ini sebagai hari terindah dalam hidupku......” Langsung saja, aku menyalami ke dalam kantor dan serempak orang yang di dalam kantor mengenali suaraku. “Ya sebentar, nak.” Aku menunggu dengan was-was. “Rabbi syrohlii shodrii wa yassirlii ‘amrii.” Ustadzah staf KMI pun ke luar dan..... “Nak, tadi ayahmu menelepon katanya supaya kamu belajar yang rajin dan belajar ikhlas. Dan itu berarti, kesempatan akan datang di lain waktu. Yang ikhlas ya.....” Tanpa menjawab apapun, sontak hatiku membeku dan lidah pun membisu. “Benarkah ini?” Aku berjalan pulang dengan langkah tertatih. Disambut dengan gerimis yang memadukan tetesannya dengan hatiku yang semakin berembun. Langkahku semakin cepat, karena awan lama kelamaan menunjukkan aura abu-abunya. Aku kuat! Jika menangis, itu bukan aku! Aku berbicara dengan nada terpaksa. Aku langsung ke kamar kakakku dengan niatan berteduh. Tapi apa daya, aku tak kuat menahan bendungan air mataku. Aku menangis. Kakakku hanya menatapku lirih. “Kamu kecewa?” tanay kakak kepadaku setelah kuceritakan segala yang terjadi seharian ini. Dan aku hanya diam dengan air mata yang terus mengalir. “Untuk apa aku kecewa? Kita masih punya banyak kekuatan! Kita bisa menukar kekecewaan dengan kesuksesanmu meraih beasiswa kelak. Ayah sering bilang, kalau ayah tidak mewariskan harta untuk anak-anaknya. Tapi satu! Ayah mewariskan ilmu biar kita bisa meneruskan hidup menempuh hidup dengan aturan dan cara yang benar. Harta itu bisa dicari, tapi memanfaatkan harta dengan ilmu itu jarang yang mampu merealisasikannya. Kita pun bisa lebih dari itu. Masih ada kakak, ayah, ummi, abang, sama keluarga semuanya.” Aku termenung. Benar yang kakak katakan. Hujan hari itu pun mungkin saja untuk meleburkan segala kesedihanku. Memang, saat itu aku belum bisa menyapa dan merangkul Mesir dengan segera. Tapi siapa sangka jika di kemudian hari, malah Mesir yang menyapa dan merangkulku lebih dulu. Aku bangkit dan mengucapkan salam. Kuseka air mata itu untuk kembali mantap berjalan. Hanya langit yang dapat utarakan rasa itu. Itu saja.

1 komentar:

  1. Halo Huda di tahun 2010. Pesan ini hadir dari Huda Shidqie 9 tahun kemudian. Aku tahu betapa sakitnya kamu dan betapa inginnya kamu untuk ikut program tersebut. Tapi katamu benar, ada banyak sekali jalan yang Tuhan suguhkan untuk kita dan itu terbaik.

    Siapa sangka, saat menulis ini, Huda di tahun 2019 akhirnya sudah pernah naik pesawat (persis seperti yang Huda di tahun 2010 inginkan), ikut program kepemudaan di Malaysia, mewawancarai eksil di Belanda, bertandang ke Eiffel, dan menjadi peserta Summer Class di Belgia.

    Cara Tuhan selalu yang tebaik. Jangan menangis lagi ya, terima kasih Huda, sudah pernah menjadi yang kuat dan sudah pernah menjadi yang punya banyak mimpi.

    Jangan lupa selalu bersyukur, semua ada waktunya. Tidak apa-apa kalau gagal hari ini, it's all about timing :)

    Salam,
    Huda di 2019

    BalasHapus