Jumat, 17 Agustus 2012

Masuk Lagi ke Lubang By. Nur Liyana

Dikala harapan membumbung tinggi ke awan. Tak pula kuhentikan langkahku. Aku hanyalah si kecil yang tak dianggap, diremehkan. Seakan kehidupanku hilang. Hanay karena beberapa kesalahan fatal yang tak kusengaja lalu semua dapat menganggapku jelek. Suasana berjalan seperti apa adanya. Diminggu ini pondok disibukkan dengan acara Duta Gudep. Sekarang aku duduk di kelas empat. Pramuka adalah hal yang kugemari, kucintai, dan itu adalah kenikmatan bagiku. Dalam pramuka semua angkatan lebur menjaidi satu tanpa perbedaan yang dapat ditemui seperti sehari-hari, semua sama. Adik dan kakak kelas bagaikan saudara yang saling menyayangi. Hari ini adalah Selasa pgi. Seperti biasa, olahraga menjadi awal dari hari kami. Lelah setelah berolahraga aku dan beberapa temanku berbincang. “Hari ini ANKULAT membagikan surat Duta Gudep, lho!” begitu tutur salah seorang teman. “Mana mungkin aku dapat! Aku kan gholat.” “Jangan salah! Positive thinking aja!” Entah mengapa Duta Gudep bagiku bukanlah menjadi suatu obsesi seperti teman-temanku yang lain inginkan. Aku harus sadar diri. Dengan blacklist-ku yang selalu saja membuat mimpiku sirna, aku tak lagi ingin berharap. Saat aku hendak memasuki kamar, sebuah sepeda butut berwarna biru berhenti di depan rayon. Seorang ANKULAT turun dari sepeda tersebut. Ia memanggilku sembari memberikan beberapa lembar surat. Ada namaku! Aku tak dapat berkata apapun. Allah ternyata masih memberiku kesempatan dengan harapan ini. Waktu seminggu kuhabiskan untuk konsentrasi dengan segala pelajaran tentang kepramukaan berikut prakteknya yang meliputi morse dan semaphore. Lusa adalah hari penentuan. Aku harus mematangkan otakku. Pagi berganti senja, kulihat secarik kertas melayang ke hadapanku. Panggilan dari bagian bahasa pusat. Air mata tak kuasa kubendung. Haruskah aku gagal lagi? Dua jam aku harus berhadapan dengan buku besar berwarna hitam. Buku kronologi. Dengan begitu sudah barang tentu eksekusi yang pantas untukku adalah memakai kerudung pelanggaran. Hati ini hancur berkeping-keping. Tak berani lagi kulangkahkan kakiku. Mslu. Tepat hari H pun aku tak berani untuk menegakkan wajah. Intinya adalah aku gagal. Pasti gagal. Setelah perjuangan yang kulakukan ini aku mendapat pelajaran yang begitu berharga. Bahwasanya segala apapun yang kita lakukan pasti ada akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar