Jumat, 17 Agustus 2012

Arti Sebuah Keikhlasan By. Lathifatus Syifa

Saat hati inginkan sesuatu Saat perbuatan menjadi kendala Saat piiran tak sesama hati Ikhlaslah dalam segala hal..... “Ye.....ayo...ayo....chaiyyyoo!” Sorak-sorai santriwati membuyar lamunanku. Saat ini, aku tidak mengikuti SOPM Party. Masa dimana harusnya aku aktif di berbagai perlombaan. Tahun ketigaku hidup disini aku malah terkulai lemas di BKSM dengan penyakit batu ginjal yang baru saja diketahui. Satu bulan penuh aku tidak masuk kelas dan terbaring tanpa melakukan aktivitas apapun. Hingga datangnya ulangan umum, aku mendapatkan nilai yang mengecewakan. 3,15. Ya Tuhan... Sebodoh itukah aku? Mungkin itu akibat banyaknya absenku dari kelas. Apa nilai akademisku harus terkorbankan karena cobaan yang Allah beri padaku kali ini? Saat kelas tiga, mimpiku untuk menjadi Dewan Kerja Koordinator dan sutradara Gebyar Seni Darussalam (GSD) di kelas empat makin membuncah. Apakah aku bisa menggapai impian itu dengan nilai 3,15? Di sela-sela impian itu ada orang yang menyemangatiku untuk menjadi DKK. Yaitu pembina gudepku. Perlombaan Duta Gudep datang. Tentunya aku yang sanagt mencintai gudep menginginkannya. Tapi apa daya. Banyak orang yang memiliki kemampuan lebih dariku. Aku cukup puas untuk sekedar mengajari temanku semaphore sebagai persiapan menghadapi ujian Duta Gudep. Meski aku sesekali harus kabur mengendap-endap keluar dari BKSM dan pulang larut malam. Membuatku terkunci di luar BKSM. Badanku yang lemas dan hawa dingin menusuk. Dengan langkah gontai aku kembali ke rayon yang lumayan jauh dari BKSM. Tak apalah. Jika aku tidak bisa menjadi setidaknya aku bisa menjadikan. Keinginan itu sebenarnya ada. Aku hanya berusaha mencoba mengikhlaskan semuanya. Buah dari ikhlas tentu lebih dari sekedar kepuasan. Utusan gudep yang juga temanku itu meraih juara tiga. Alhamdulillah. Aku turut berbesar hati. Kalau seandainya aku yang trepilih mungki belum tentu gudepku dapat meraih juara. Saat ujian kenaikan, aku berusaha sekuat tenaga untuk melawan rasa sakitku yang kian hari makin melemahkan diri. Aku mulai beraktifitas di rayon. Meski sedikit. Di sela itu, satu impianku menjadi sutradara GSD pupus sudah. Karena aku dipercaya untuk menjadi bagian Keamanan GSD. Sedih. Tapi mau bagaimana lagi? Dayaku tak kuasa untuk menolak. Aku harus mengikhlaskan semuanya. Impianku yang lain adalah menjadi DKK seperti kakakku, Adnan Fathron. Kakak selalu berkata, “Di mana kamu berdiri di situ kamu bergerak. Ikhlaskanlah sesuatu yang belum bisa kamu dapatkan. Jangan gegabah. Perbanyak Dhuha dan membaca Al-Ma’tsurat pagi dan sore.” Saat liburan akhir tahun di bulan Ramadhan, aku terus menanti tanggal sepuluh. Yaitu tanggal pengumuman kenaikan kelas. Dengan ketakutan yang sangat aku memberanikan diri untuk menelepon. Secercah senyum yang tersungging di wajahku. Aku naik kelas dari tiga I menjadi empat G. Walau sedikit memutuskanku menjadi DKK. Setidaknya aku naik derajat kelas. Dari I ke G. Di tahun ajaran baru di kels empat G, mulailah pertempuran hati antara pertemanan, gesekan-gesekan perlombaan dalam mengikuti pemilihan pasukan pengibar bendera dan komandan peleton. Saat pemilihan komandan peleton POD aku dihadapkan oleh dua pilihan. Mengikutii tes kompel atau tes LPG/Tpi antar pondok alumni. Satu yang sedikit aku sesalkan. Aku memilih mengikuti tes LPG/Tpi. Dan saat itu tak ada pengulangan tes komandan peleton. Aku terpilih menjadi utusan gudep 17-32. Bersamaan dengan diadakannya tes kompel PKA. Aku masuk sampai seleksi sebelum akhir. Aku mundur. Cukup menyedihkan. Namun aku ingat kata kakakku untuk mengikhlaskan semuanya. Mungkin aku pun salah niat untuk melakukannya. Aku memusatkan pikiran untuk memajukan gudep. Sedikit harapan masih tertanam di hatiku untuk menjadi DKK walau harapan itu hanya lima persen. Di LPG/Tpi pun aku tidak maksimal. Aku berkali-kali jatuh pingsan dan terpaksa tinggal di bakes. Aku terpilih untuk menjadi komandan peleton untuk pembukaan LPG/Tpi. Meski bukanlah sebesar derajat komandan peleton POD dan PKA, aku cukup bangga. Kami dilatih oleh salah seorang ANKULAT. Saat LPG/Tpi pun aku sering kali dipanggil untuk menjadi kompel berbagai upacara. Aku memiliki kepuasan tersendiri saat gudepku meraih banyak kejuaraan. Di saat terakhir LPG/TPi, aku dikagetkan dengan kabar pemadatan kelas. Hingga aku pindah ke kelas empat F. Ya Rabbi.... inikah buah keikhlasanku? Pintu menuju DKK terbuka perlahan semakin melebar. Meski aku tidak terpilih menjadi kompel PKA, namun aku menjadi bagian atraksi koord yang dibimbing oleh para pengurus koordinator. Aku mulai kenal dengan beberapa dari mereka dan akrab. Mungkin dari sanalah banyak kakak pengurus koordinator yang mencalonkanku untuk menjadi salah satu anggota Tunas, Dewan Kerja Koordinator, Little Jendral. Semua itu bermula dari rasa ikhlas. Ikhlas mendapat nilai kecil, ikhlas tidak menjadi Duta Gudep, ikhlas tidak menjadi kompel POD dan PKA, dan banyak rangkaian ikhlas yang harus dirajut. Bukan demi diriku, bukan karena siapa, tapi karena Allah semata.

1 komentar: