Jumat, 17 Agustus 2012

Saat Ia Pergi... By : Naylu Zulfa

Waktu enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bertahan hidup di tengah kerasnya ombak kehidupan dikalangan santri Gontor. Semua benar-benar menguji mental saat aku kelas satu, aku benar-benar tak tau apapun. Mungkin bisa dibilang aku polos. Yah memang karena fenomena kelas satu yang tak akan terlupakan. Beranjak ke kelas dua, aku menjalani hari-hari dengan lembaran baru yang unik,dan tentu sangat berbeda dengan atmosfer kehidupanku saat kelas satu dulu. Dan kelas tiga, aku mulai jatuh dan entah keterpurukan menghantuiku. Tidak betah adalah sebuah kelaziman pada kamus hidupku pada saat itu. Namun, karena kekuatan do’a dan berbagai motivasi yang aku dapatkan, aku bisa menjalani dan melewati masa-masa rumit. Hingga, aku dapat menginjak jenjang yang lebih tinggi, yakni kelas empat, bahkan pada masa itu aku tak kenal lagi kata keterpurukan, kecemasan bahkan tidak betah sekalipun. Dari situ aku mendapat pengalaman baru tentang dunia pertemanan yang bisa dibilang sakral pada masa itu, kenakalan dan rasa ingin bebas mungkin yang menjadi tumpuan kelas empat untuk hidup bahagia tanpa berpikir panjang. Dan saat kelas lima, ini merupakan tahun diman aku dituntut untuk menjadi ‘AKU’ yang lebih dewasa, terlebih saat aku dihadapkan pada satu pengalaman penting. Saat itu pondok dilanda virus tifus yang hampir menjangkit tigaperempat dari jumlah warga pondok seutuhnya dan sebagai kelas lima, aku berhadapan dengan dua hal terpenting. Yakni, antara teman seperjuanganku yang terjangkit tifus dan juga anggota rayonku yang ikut terserang tifus. Alhamdulilah, Allah masih memberiku kesehatan sehingga aku bisa mengurus keduanya tanpa hambatan apapun. Suatu saat, aku diamanahkan untuk menjaga tiga pasien di salah satu rumah sakit wilayah Sragen. Ketiganya mengidap typus dan demam berdarah, perasaan iba selalu menyelimutiku, tapi apa daya? Aku hanya bisa berdoa agar Allah memberi kesembuhan untuk mereka. Salah satu diantara mereka ada yang orang tuanya baru saja pulang haji, kedua orang tuanya langsung datang dengan keadaan anaknya yang sangat kritis, bahkan untuk sekedar bicara dan mendengarpun ia tak kuasa, mungkin Allah mempunyai skenario lain untuk anak ini, banyak kejadian menyedihkan yang membuatku semakin berempati kepadanya. Dia melepas infus, berusaha berjalan, walau sangat terlihat nafasnya sudah tersengal. Ia pun tak kunjung mendengar dan berbicara, tak ada yang bisa dilakukan orang tuanya kecuali menegukkan tetesan air zam-zam dimulutnya. “Kullu Nafsin Dzaaiqotu-l-maut...” Ya Allah.. sesungguhnya kami milikmu dan kepadaMulah kami kembali... Bulir air mata membasahi pelupuk mata dan hatiku. Tepat pada jam 06.45, ia menghembuskan nafas terakhinya, mengguratkan senyum terakhir dan lambaian hangatnya kepada kami. Ya.. benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan untuk memetik buah hikmah dari semua kejadian ini semua akan kum jadikan bekal untuk akhwati perjalanku melewati tapak tilasku selanjutnya. Ramadhan, yudisium, karantina kelas 6, ujian akhir dan hingga kini aku hampir menyelesaikan rakaat terakhirku dalam shalat Thalabul Ilmiku ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar