Jumat, 17 Agustus 2012

Pelajaran Dalam Setiap Gerakan By. Alfaina Zia Inayati

Hati ini hanya terpaut pada satu pilihan, yaitu Gontor. Seakan jantung ini berhenti berdetak. Darah pun berhenti mengalir. Lemah tak berdaya. Hanya karena iming-iming uang saku lebih yang akan kudapat, kuserahkan jiwa raga ini pada ibunda Darussalam. Ibunda yang mengajariku apa arti hidup, berbagai pelajaran mulai dari angka nol, arti sahabat, dan penemuan jati diri. Aku seseorang yang ambisius. Atau mungkin karena aku termasuk orang yang tak mau mengalah. Semua yang kuinginkan harus kudapatkan, tapi di sini aku belajar bahwa apa yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita. Bahkan Allah memiliki jalan tersendiri yang pasti lebih baik untuk kita jalani. Seperti Allah mengganti keinginanku untuk menjadi Bagian Olahraga ke Bagian Kafetaria. Sedih memang. Tapi kumenemukan hikmah yang tersendiri darinya. Allah telah menunjukkanku bagaimana menjadi seorang pedagang yang harus memperhatikan secara detail dagangannya. Memperhitungkan pendapatan setiap harinya, juga menunjukkanku betapa beratnya ibu membersihkan rumah yang selalu dituntut untuk menjaga kebersihan dan higienisnya segala sesuatu. Etalase, kulkas, lantai lengket, gorengan jatuh, tak kan pernah hilang dari ingatanku. Apalagi moto kafe, DENGAN ROTI LA TANSA, SUSU KEDIRI, KAMI CIPTAKAN MANUSIA BERBADAN SEHAT SEPERTI KAMI. Tentu khususnya aku yang kini terlihat benar-benar bengkak. Bagaimanapun joroknya dan bengakknya badanku, aku tetap sayang pada kafeku. Dan kisah yang benar-benar akan selalu terkenang adalah saat aku harus bertatap muka dengan bapak kyai kita. Bukan karena aku orang yang memiliki nama di angkatan, bukan juga karena aku mumtaz, apalagi karena prestasiu yang melambung, tapi karena kenakalanku yang membuncah. Kerudung oren-biru terlanjur melekat di kepalaku. Kelalaian, kurang khusyu’, meremehkan, seakan diri ini benar-benar buruk di mata orang dan khususnya Allah. Aku malu, benar-benar malu. Suasana yang sepi dan sunyi. Keadaan pun mencekam bak rumah hantu. Aku terpaksa memencet tombol bel rumah. Sesaat setelah itu, sosok tegar itu muncul. Ingin rasaya aku memakai topeng untuk menutup wajahku. Ditambah betapa malunya diri ini saat aku harus mengakui bahwa aku anak didiknya. Enam C. Hanya untaian maaf yang dapat keluar dari bibir ini. Aku tak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji. Membersihkan halaman, mencabuti rumput, belajar di rumah beliau setiap apginya adalah hukuman yang diberikan. Aku merasa sedikit lega, setidaknya aku tak harus keluar dari Darussalam ini. Dan yang terlalu mengesankan dan tak terungkap oleh kata-kata adalah saat mengingat perjuangann suka-duka Magenta untuk menjadi the real Magenta. Kita tangguh. Kita bisa. Semoga obor kita masih bertahan sampai kita menemukan jalan keluar. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar