Jumat, 17 Agustus 2012

HALUAN MIMPI By : Dhita Ayomi

Kabur dari PERKAJUM. Mungkin ini adalah ide paling nekat yang pernah terlintas dari pikiranku. Hanya untuk mebuat MADING marhalah yang ternyata juga tak menang. Itu yang saat kelas enam kusadari sebagai ‘don’t give too much for the whistle’ karena hukuman dari kabur PERKAJUM bukan sekedar boking dari Sie. Giat berupa sampah, ataupun ratusan redaksi marah dari mudarribat itu. Aku harus mengikuti PERKAJUM gelombang selanjutnya yang diadakan khusus untuk andika yang sama nekat atau kebiasaan kabur dari PERKAJUM. Aku dan seorang teman bersama kakak-kakak kelasku yang sebagian besar atau semua tak menyelesaikan program belajar di KMI hingga akhir. Dari yang dipulangkan secra baik-baik, diusir, atau juga karena pulang atas dasar keinginan sendiri. Sejauh ini, aku sendiri sudah tak melihat mereka. Bisa dibilang, untuk kategori kenakalan mereka termasuk dalam taraf agak sampai paling parah. Dan aku diantara mereka. PERKAJUM itu diadakan hari Jum’at pagi hingga Maghrib. Berlari menuju auditorium. Selusin ANKULAT telah menunggu di kanovi auditorium. Memberdirikan kami sejajar untuk memeriksa kelengkapan. Hasduk, ransel, kaos kaki hitam, dan atribut yang terjehit di lengan baju. Aku hanya dapat tertunduk lemas. Satu per satu kami dipasangkan boking berupa rumbai di tepian kerudung hingga terkadang menutupi pemandangan. Papan nama besar dari kardu yang bertuliskn kata pelanggar berikut nama, kelas dan konsulat. Kami dibagi menjadi tiga kavling. Mendirikan tenda yang awut-awutan mengingat mayoritas dari kami mungkin tidak pernah mengikuti pramuka. Aku yang saat itu sendiri, memberikan instruksi pada kakak-kakak yang satu kavling denganku tentang pemasangan tenda. Aku hanya dapat merengut. Cross campus yang tentu lain dari biasanya karena langsung dibimbing oleh koordinator. Keluar dari pondok melalui jembatan penghubung menuju Gontor Putri 2. Dari sanalah petualangan dimulai. Menyusuri comberan kamar mandi Iskandaria, jalan terus masuk ke dalam got di depan Beirut yang sedikit berkubang dan masuk ke bawah jembatan kecil sebelah kantor YPPWPM. Bukan masalah buat tenda ataupun masuk got juga comberan yang membuatku mempersalahkan saat itu. Tapi rasa malu dan nama baikku yang tercoreng ketika aku harus berjalan dengan papan nama bertitel pelanggar. Separah itukah aku? Atau sebegitu sayangnyakah aku pada mading dan marhalah hingga nekat kabur dari PERKAJUM? Entahlah... Mungkin hanya tenda, tailor, dan Mini Market La Tansa yang tahu bagaimana mimikku saat itu. Saat cross campus di pematang sawah aku berjalan. Melihat hina pada diri sendiri. Karena harus dipermalukan saat itu. Lalu aku berjanji atas nama tunas kelapa, aku yang telah dipermalukan, maka aku harus mengembalikan nama baikku dengan menjadi Duta Gudep. Mungkin? Ya, menjadi Duta Gudep! Itulah ambisiku saat kelas tiga. Selesai PERKAJUM, kami diberi banyak sekali wejangan dari sang empunya urusan pelatihan pramuka di Gontor Putri. Untuk tidak nakal dan selalu taat peraturan. Untuk tidak sembunyi saat pramuka dan tertidur di out bound, di kelas, ataupun gudang. Mencoba peruntungan di Duta Gudep. Akhirnya aku lolos babak pertama dan masuk pada babak selanjutnya. Di gelombang kedua inilah yang akan menentukan duta dari gudep masing-masing. Aku semakin optimis dapat mengembalikan nama baik itu. Ya, aku bisa! Seorang ANKULAT yang ternyata turun di kamarku dan kini ia sedang melanjutkan studinya di Mesir, berkata dengan nada heran, “Anti yang ikut PERKAJUM gelombang tiga kemaren kan? Masuk Duta gudep?” Ternyata Tuhan memang memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Stres? Mungkin saja. Aku ternyata tak dapat mengambil kesempatan itu. Tidak menjadi DG di kelas tiga lalu membuat mimpi baru dengan haluan yang drastis. Aku menghapus mimpi menjadi DKK di kelas empat agar dapat menjadi Duta Gudep, aku akan mengikuti ujian MALDA dan menjadi DG di tahun depannya. Lambaian tangan mantap pada mimpi menjadi DKK. Saat menjadi MALDA dan menjalaninya, aku benar-benar menyadari bahwa ini duniaku. Aku kembali teringat akan mimpiku sejak aku duduk di kelas 5 SD. Membuang segala egoisku untuk menjadi seorang wartawan. Aku bersyukur, mungkin ini jalan yang Tuhan pilihkan untukku. Karena kurasa, bahwa ini adalah sebuah pilihan yang tepat, bukan karena muthor. Dulu keinginan untuk menjadi DG adalah sebagai pembersihan nama baik. Lalu saat itu tiba..DG...mungkin karena aku yang saat itu sakit-sakitan atau karena ku yang tak begitu mengenal bindep baru itu? Bahkan gelombang I pun aku tak masuk yang tak lama setelah itu aku tahu bahwa dalil karena tidak masuknya itu karena aku yang kurang terjun ke gudep. Lalu apa yang aku lakukan dari kelasa satu dulu? Aku merasa dipermainkan oleh gerakan berlambang tunas kelapa ini. Sedih? Tentu saja. TBC alias Tekanan Batin Continue melandaku bahkan saat LPK hingga menjadi mudarribat . Sebelum aku masuk pondok aku berpikir bahwa pramuka adalah sebagian dari hidupku. Aku merenung... Mungkin karena itu pula aku telah mantap menemukan sesuatu yang jauh lebih aku bisa dan aku sukai dari pramuka. Jurnalistik dan tentu saja menulis. Dimulai dari MALDA, berlanjut ke Bagian Diskusi kemudian CAKRAWALA. Menulis bukan hanya menjadi sebuah bagian, tapi segalanya bagi hidupku. Aku tak pernah menyesal tentang kabur PERKAJUM dulu. Mungkin saja itu sebuah permulaan agar aku dapat mendalami jurnalistik hingga saat ini. Terima Kasih... Telah memantapkan relung jiwaku... Syanggit, 20 Juni 2012 05.50 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar