Jumat, 17 Agustus 2012

Siapkanlah Semua

Ini salah satu kisah teman sekelompokku, ketika Amaliyatu-t tadris atau praktek mengajar. Dan inilah awal perjuangan kami di karantina. Hari itu kami mendapat giliran untuk praktek mengajar pada jam pertama dan jam ketiga. Dia, tmanku yang mendapat giliran pada jam ketiga orang yang periang, lucu tapi agak aneh. Jarum jam dindingn kami telah mengarah pada pukul 06.50 WIB, kami semua sudah siap dengan kertas HVS, buku kritikan, papan tulis karena kami mendapat mata pelajaran imla’ dalam jam pertama, tak lupa pulpen dan tablecease yang melingkar di leher kami untuk memudahkan dalam menulis. Lima menit sebelum bel dipukul, kami mendapat masalah dari kapur yang tak tersedia di dalam kelas, yang memaksaku untuk mengambil satu kardus kecil kapur yang berisi penuh. Penyangga papan tulis pun ikut menghilang dan kami menggantinya dengan sebatang pulpen. Tak terbayang apa jadinya jika papan tulis itu jatuh di tengah pelajaran! Pagi tu pagi yang merepotkan sekaligus menyebalkan. Namun masalah yang paling besar ialah ketika temanku belum tiba di ruang belajar dua menit sebelum bel dipukul. Kita pun saling bertanya akan keberadaanya. Persiapan telah siap, jam dinding telah kami pasang diatas dinding. Satu menit berlalu namun dia pun belm menampakkan dirinya. Ditengah penantian kami yang tak pasti itu terlihat dari kejauhan dua sosok wanita yang berseragam bira dan magenta, magenta? Sejak kapan kelas ea=nam boleh pakai sepeda motor? Akhirnya dia datang dengan raut wajah yang terkesan takut dan hampir menangis. Amaliyatu-t tadris pun dilaksanakan dengan lancar tanpa jatuhnya papan tulis seperti apa yang kita tkutkan. Syukurlah...dan ini yang kita harapkan. Istirahat tiba, pertanyaan yang memberondang ditujukan pada dirinya. Denga terpaksa dan agak malu dia pun mencetitakan fenomena yang telah dialaminya. Berawal dari persipan mengajar yang belum diambil dari fotocoppy dan harus diserahkan pada guru pembimbing sebelum Amaliyah serta hilangnya buku mahfudzot yang akan dia jadikan subject dalam Amaliatu-t-tadris, meminjamlah satu-satunya alternatif yang harus ia ambil, usai meminjam buku ia pulang ke kamar. Dan dia mendapati kamarnya kosong tanpa seorangpun. Tanpa pikir panjang spontan dia kenakan baju magentanya yang akan dia kenakan dalam Amaliyah nanti. Berlari itu keputusan yang jitu namun semua itu sia-sia karena dia tak tau gedung yang kami gunakan untuk Amliyatu-t-tadris pada jam pertama. Ia terus berlari hingga sampai di gedung Turki namun semua kelompok sudah siap di dalam kelas sampai akhirnya ia terus berlari dan pertemuanya denngan Ustadzah prngasuhan layaknya secercah cahaya dalam kegelapan. Ia bertanya akan lokasi kami untuk Amaliah, ternyata erada di gedung Khodijah yang cukup jauh jika ditempuh jika berjalan kaki, terlambat pun tak bisa dielakkan. Lari. Yah ..lari adalah solusi pertama, dengan sisa kemampuannya ia berlari menuju gedung Khodijah. Entah karena rasa iba atau apapun itu sang Ustadzah pengasuhan itu segera memberinya instrupsi untuk naik dibelakngnya. Dengan secepat buroq iasampai di gedung Khodijah. Ia berargumentasi tentang apa yag ia rasakan katanya seperti Miss Universe yang lagi berjalan diantara para pengagumnya berhubung saat dia melintasi jalanan menuju gedungKhodijah para santriwati sedang berlalu lalang menuju kelas masing-masing. Yang lebih mengharukan ketika ai mengerjakan praktek mengajar tanpa persiapan yang matang, tanpa sarapan, tanpa mandi. Tapi aku salut karena ia bisa melewati Amaliyatu-t-tadris dengan baik dan tergolong bagus meski dengan pendahuluan yang begitu tragis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar