Jumat, 17 Agustus 2012

IKHLASKANLAH SEMUANYA... By : Dhita Ayomi

Cerita kali ini sungguh bukan tentangku.Tapi tentang seorang teman yang sepertinya patut kutulis bila ia tak segera memulai untuk menulis. Bagiku ini penting, banyak pelajaran yang kuambil tentang makna tawakkal dan makna kesabaran tiada batas. Mungkin permulaan cerita bisa dimulai dari kamar itu. Saat akhirnya mimpi untuk menjadi bagian diskusi bahkan posisi ketua membuatku harus masuk kamar tersebut. Terlalu penuh keceriaan dan kebahagiaan. WE ARE FAMILY. Bukan hanya sekedar bagianku. Tapi bagian lain yang menempati kamar itu. Bersamaan dalam menentukan firqoh kelas enam untuk kelompok diskusi dan pembimbing pidato. Ya, bagian pengajaran. Dia bukan seorang ketua ataupun seorang khotibah ulung apalagi seorang qori’ah. Tak ada yang menyangka ia akan menjadi seorang bagian pengajaran. Yang ia prediksikan dulu adalah bagian bahasa. Karena ia yang seorang Queen of Language walau hanya mendapat peringkat enam. Tujuh bulan dilalui dengan penuh khidmat. Bisa jadi ia termasuk bagian pengajaran yang disegani. Mengingat eksistensinya dalam bekerja. Panggung Gembira, memberikanku kesempatan yang lebih untuk mengenalnya sebagai penanggungjawab bagian intermezo, kami melakukan aksi menembus batas. Dimulai dari wayang yang membuatku harus medok untuk beberapa saat karena melatih Dewi Durga, mengejar ustadz DC untuk sekedar pengambilan gambar air mineral La-Tansa. Juga beberapa lagu yang berhasil kami lip sinG-kan walau semua itu ternyata tak mendapat kesempatan tayang di acara akbar kami. Biarlah, setidaknya kami memiliki pelajaran berharga. Ia pun telah merasakan hal yang sama ketika di Drama Arena. Sakit hati? Tentu saja. Ia hanya dapat tersenyum tanpa menitikkan air mata. Walau guratan wajah serta beberpa titik air telah menggenang di pelupuknya. Sebelum itu, ia sudah memakai kerudung pelAnggaran sebanyak dua kali semenjak di bagian pengajaran. KeruDung merah karena apesnya ia menaruh soal ujian sore di keranjang sepeda bututnya, siap dikumpulkan dan ia parkirkan sepedanya di depan kamar ustadzah pembimbng. Siapa yang sangka? Ternyata justru ‘kertas keramat itu’terbca oleh saah seorang murid yang ditujukan soal itu. Apes. Hingga ia pernah berkata padaku di suatu malam, “Apa Tuhan berpihak padaku? Selalu begini, dulu pun begitu, sekarang juga begitu. Apa salahku?” Aku hanya dapat terdiam, tak bisa untuk menjadi sok bijak untuk sebuah pertanyaan tentang Tuhan. Biarkan ia menangis, mungkin lebih baik. Setidaknya melalui air mata ia dapat melelehkan segala kesedihannya. Saat Panggung Gembira, memang bertepatan dengan KMD, dan ia menjadi seorang ketua panitianya. Dengan merendah, ia berkata padaku dipertengahan Ramadhan ketika ia dinobatkan, “Padahal dulu waktu panitia KML, aku hanya jadi ummul maktab dan hanya hujan-hujanan menyelamatkan api unggun, kok bisa jadi panitia ketua KMD?” Bagiku itu semua bukan kebetulan. Terbukti ia dapt memimpin kami dengan baik. Sampai di suatu Jum’at dan anggota kamar melakukan ‘ritual Jum’at bersama’ -tidur. Karena ini satu-satunya hari yang dapat kami gunakan untuk istirahat. Aku terbangun oleh suara buku yang dijatuhkan dan ia baru saja pulang karena dinobatkan sebagai Tim Dinamisator. “Kenapa?”, tanyaku. Ia hanya menggeleng dan menutupi mukanya dengan bantal. Iseng aku membuka buku yang selalu ia bawa itu. Tulisan tangan tak lebih dari satu halaman yang memberitakan bahwa ia menjadi ketua dinamisator. Seperti biasa, aku tulis ucapan selamatku dan beberapa wejangan dengan pulpen warna abu-abuku yang baru. Reformasi memisahkan segalanya... Sebelumnya kami memesan agenda berwarna biru donker dan mengecat kamar menjadi warna hijau dengan kupu-kupu yang belum sempat kubuat. Ia pindah bagian menjadi Bagian Bahasa pusat. Setelah perpindahan kamar reformasi, kuselesaikan kupu-kupu itu dengan ia menghadap pintu seakan-akan keluar dari kamar kami. Mungkin sebenarnya itulah dunia yang harus ia miliki. Meski ia tak pernah mengerti, tapi itu adalah pembuktian dan pencapaian atas cibiran orang dulu setelah ia memakai kerudung pelanggaran dan kata-kata senior yang selalu membandingkannya dengan sang kakak. Tanpa ia sadari, sesungguhnya segala kesabarannya itu yang membuat ia justru dapat melebihi sang kakak. Percayalah engkau wahai teman yang terlahir menjadi tangguh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar