Jumat, 17 Agustus 2012

Berkorbanlah dan Kau Jadi Korban! By. Muzakkiyah Noor

Kejadian itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Mei 2010, dini hari. Tanggal paling historial dalam kamus kehidupanku. Ketika itu, aku duduk di kelas empat KMI. Alhamdullillah, aku berkesempatan untuk menjadi anggota Majalah Lintas Darussalam –staff kejurnalistikan, yang dipelopori oleh Bagian Diskusi Ilmiah dan Penerbitan. Saat itu, Bagian Bahasa Pusat mengadakan lomba drama berbahasa antarstaff OPPM. Disitulah kemampuan berbahasa dan berakting kami diuji. Persiapan pun dimulai, mulai dari pembuatan struktur bagian, casting dan berbagai persiapan lainnya. Aku diamanahkan untuk menjadi editor dan mengemban tugas untuk mengetik naskah dan membuat buku pintar yang hanya bertemankan laptop dan printer. Hari H semakin dekat dan itu berarti bahwa persiapan-persiapan pun harus dicanangkan secara matang. Padahal jam latihan sangat terbatas. Kala itu, aku dan teman-teman hanya diberi waktu hingga pukul sebelas malam, dan itu benar-benar sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan latihan kami. Dengan dalih kebutuhan akan latihan, seringkali kami melewati batas waktu dan tanpa diharapkan, kami kena Bagian Keamanan dengan tuduhan keluar kamar di atas jam 11. 26 Mei 2010, 00.30 WIB Mungkin ini sudah teralu larut malam. Tapi tempat latihan tak mungkin dikosongkan mengingat perlombaan akan diadakan dua hari lagi. Akhirnya kami membagi tugas. Ada yang berkumpul di aula Kwait untuk menyelesaikan casting, berkumpul di perpustakaan bawah untuk menyelesaikan letter dan sisanya bertugas untuk menyelesaikan ketikan naskah yang bertempat di perpustakaan lantai dua. Diantara yang bertugas menyelesaikan ketikan naskah adalah aku, dan lima temanku lainnya. Lampu perpustakaan sengaja dimatikan agar cahaya tak bisa menyusup sedikitpun dan agar tak ada yang bisa menerawang ke jendela perpustakan. Sandal-sandal di depan perpustakaan disembunyikan agar jejak kami tidak tercium oleh Bagian Keamanan. Benar, bagian Keamanan benar datang. Tapi untungnya kami lebih dulu mencium jejaknyaa daripada ia yang mencium jejak kami. Strategi untuk bersembunyi benar-benar dipikir dengan matang. Aku yang sedari tadi sibuk membenarkan printer dengan tangan yang juga dipenuhi tinta. Adheelah mengajakku naik ke atas loteng perpustakaan. Tapi aku dan Layla menolak dan bersikeras untuk loncat ke luar jendela dan membawa printer ke genteng agar mendapat cahaya bulan dan bisa membantuku membenarkan printer. Sedangkan Adheelah, aku menyuruhnya pergi ke loteng perpustakaan bersama tiga temanku lainnya dengan membawa laptop untuk alat penerang. Ya, semua sudah stand by di tempat masing-masing. Tanpa berpikir panjang, aku duduk di genteng perpustakaan bersama Layla dengan santainya. Untung tak dapat diraih, dan rugi tak dapat ditolak. Efek hujan tadi sore membuat genteng licin dan samasekali tidak bersahabat denganku. “BRAAAAKKKKKKKKKKKKKKK............!” Aku terjatuh. Menerobos pilahan genteng dan menembus tepat di dalam ruang kelas. Semua terasa seperti mimpi. Kejadian ini sungguh sangat cepat. Tak ada satu pun yang aku ingat kecuali ‘malu’. Aku sedikit shock melihat keadaan genteng yang bolong. Dengan kondisi yang tak bisa dibayangkan, aku merambat mencari kerudungku yang terlepas berikut kacamataku. Entah dengan energi apa, setelah jatuh aku langsung pergi dari TKP dan mencari sandal ‘seadanya’ di depan kamar Bagian Kebersihan. Samapi di lorong kamar mandi, aku tidak kuat dan jatuh. Dan yang mengherankan, aku tak menemukan batang hidung Layla yang duduk bersamaku di genteng tadi. Aku benar-benar tidak kuat, dan ternyata Huda –salah seorang pengikut Adheelah di loteng perpustakaan, berlari melewati lorong kamar mandi. Aku memanggilnya dengan nafas tersengal. Akhirnya, aku dibawa ke kamarnya dan ternyata disana sudah ada Layla yang duduk manis. Aku agak terheran karena dia bisa menerobos pilar-pilar bangunan saat kami berdua jatuh. Katanya, entah dari kekuatan apa, ia bergelantungan di pilar-pilar kelas sampai akhirnya bisa memanjat ke atas dan selamat naik ke jendela perpustakaan. Keesokan harinya, punggungngku benar-benar sakit dan berniat meminta izin tidak masuk kelas. Karena takut ketahuan, aku bilang ke ustadzah KMI kalau aku jatuh dari kamar mandi –padahal jatuh dari genteng. Dikarenakan alasan yang sepele, aku tidak diizinkan untuk absen dari kelas. Dengan keadaan punggung yang semakin sakit, aku pergi ke BKSM untuk mendapat perawatan intensif. Sekali lagi, aku bohong dan belum mengaku kalau aku jatuh dari genteng – takut. Pada sore harinya, mobil yang membawaku ke rumah sakit datang, dan akupun melewati Aula Kairo, tempat dimana Lomba Drama Kontes dilangsungkan. Yang kulihat saat itu adalah tawa kebahagiaan mereka yang tak lama setelah itu ternyata departemenku meraih juara pertama. Dan aku? Aku harus terkapar sendiri di rumah sakit hingga berminggu-minggu. Tak apalah. Mungkin ini adalah salah satu pengamalan dari mahfudzot, wa ma-l-ladzatu illa ba’da-t-ta’bi wa-s-suquuti.

1 komentar: