Jumat, 17 Agustus 2012

Introspeksi Diri By. Tatik Sujiyati

Kalau boleh jujur, mungkin aku dibilnag mampu. Biasa saja memang. Tapi kalau dibilang tidak mampu, kayaknya sih tidak juga. Pertama kali kau masuk pondok, aku kaget dengan segala kebiasaan yang ada di pondok ini. bagaimana tidak? Kalau dipikir, melihat orang yang jajan banyak dan tempat jajan yang banyak tersedia sudah barang tentu akan jajan terus. Tapi kalau aku mengingat orang tuaku, keinginan jajan itu langsung sirna. Karena jerih payah merekan untuk mengumpulkan uang dan biaya yang harus dikeluarkan demi sekolahku. Apalagi untukku yang selalu minta uang ini. Awalnya aku tak tahu apa itu Gontor. Aku kira hanya sekolah pondok biasa yang memakai dua bahasa. Ternyata setelah aku masuk di sini baru aku mengerti dan kaget akan kehebatan Gontor. Dulu waktu aku di kelas satu intensif, ingin rasanya aku pulang karena au akut tak dapat menyelesaikan sekolahku dengan baik. Tetapi karena ingatanku pada orang tua yang bercucuran keringat dalam melayani para pembeli aku tidak teg auntuk meminta pulang. Kalau aku minta pulang, sama saja seperti aku anak yang tak bersyukur karena banyak orang yang ingin ke sini tapi tidak diterima. Sedangkan aku hanya anak pedagang bakso dan mie ayam bisa sekolah di sini. Itulah yang selalu menjadi motivasiku sampai akhirnya aku bertahan. Bulan demi bulan berlalu sampailah aku di tiga intensif. Tahun inilah aku menjadi da’iah cilik. Jummi’atu-l-Khotibah (JMK). Dari situlah muncul keinginan untuk menjadi bagian Pengajaran. Soalnya kalau dilihat itu enak dan lucu. Pokoknya aku ingin dan harus menjadi bagian Pengajaran. Tak hanya keinginan, ternyata di kelas lima. Tepatnya ketika pegukuhan OPPM aku diberi amanah untuk menjadi bagian Pengajaran. Alhamdulillah. Setelah beberapa minggu akau jalani ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Bukan hal yang enak dan lucu yang aku temukan. Mulai dari dimarahi oleh pembimbing karena pekerjaan yang kurang memuaskan, bertengakr dengan teman sendiri karena pekerjaan, badan capek karena harus keliling mengontrol kerapian masjid setiap sholat, pelajaran sore, dan latihan pidato. Semua itu sudah kulewati. Walaupun dengan kenangan keliling sholat Subuh sendirian arena yang lain terlalu lelah dan masih dalam dekapan selimutnya. Kadang sebal juga dengan teman seperjuanganku, tapi aku senang karena aku menikmati pekerjaanku. Terutama melihat anggota Darussalam yang mengantuk ketika menunggu sholat Subuh. Aku bangga menjadi bagian engajaran. Mungkin tanpa kami mereka bisa-bisa sholat tanpa wudhu. Aku juga memiliki kenangan sebagai ketua konsulat Medan. Dan ada Drama Arena (DA) yang tak akan aku lupakan. Sekarang tak terasa sudah menjadi kelas enam yang akan meninggalkan pondok. Rentetan acara semua sudah terlewatkan. Mulai dari OPPM, PG, karantina, rihlah, bahkan tinta pun tak cukup untuk menulisnya. Apalagi ketika aku menjadi panitia LPG/Tpi antar pondok alumni. Pelajaran berharga dan sangat berarti, yaitu aku harus mengintrospeksi diri menjasi mudabbiroh di rayon baru dengan anggota yang tak tahu apaapa tentang pondok ini. prilaku mereka di tahun-tahun mendatang tergantung bagaimana kita memberi penjelasan dan contoh yang baik. Di sini aku mendapat pelajaran tentang disiplin, belajar untuk bersabar, ikhlas, walaupun susah juga untuk belajar hidup sederhana. Terimakasih Daussalam.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar