Jumat, 17 Agustus 2012

Aku Anggap Itu Hikmah By. Caryn Arinda

Cerita ini berwal ketika wabah tifus melanda pondok tercita ini. dan aku adalah salah seorang dari ribuan santri yang terkena wabah ini. ketika itu aku duduk di bangku kelas lima. Disaat semua temanku sibuk dengan urusannya sebagai pengurus konsulat, rayon, Drama Arena dan apalagi saat itu pondok sedang mempunyai hajat besar, yakni Pekan Perkenlana Khutbatu-l-Arsy (PKA). Tepat lima hari sebelum PKA, demam tinggi menyerang tubuhku. Memang sudah menjadi kebiasaan jika badanku demam, aku akan mimisan. Jadi ketika itu aku mimisan parah. Dan yang lebih parahnya, ketika mimisan tak seorang teman pun yang berada di kamar juga semua adik kelasku sedang sibuk dengan kegiatannya. Akhirnya aku memutuskan mengambil tissue pack untuk menghapus darah yang mengalir dari hidungku. Hingga tak bisa kurasa lagi pusingnya, sakitnya, karena semua tiba-tiba gelap. Ketika aku terbangun, ternyata aku tidak lagi berada di kamarku, melainkan di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM). Di sekelilingku kudapati beberapa orang adik kelasku yang menderita tifus sepertiku. Bedanya, mereka sedang bersama orang tua mereka dan aku hanya sendiri. Hingga aku bingung untuk meminta bantuan kepada siapa saat perutku sakit, menggigil, dan saat tak ada air untuk minum obat karena saat itu persediaan air mineral di BKSM sedang habis. Tepat di hari berlangsungnya PKA, aku dijenguk oleh wali kelasku ketika kelas satu dulu. Beliau pidah ke Gontor Putri 5 setelah mendapat gelar sarjana. Kedatangan beliau ke Gontor Putri 1 untuk menjadi perwakilan dari Gontor Putri 5 dalam mrnghadiri PKA disini –Gontor Putri 1. Entah darimana beliau mendapat kabar bahwa aku sakit, yang jelas kedatanga beliau saat itu sangat membantuku. Melalui beliau, aku menhubungi kedua orangtuaku dan mengabarkan kondisiku saat ini. Alhamdulillah, ibuku mengatakan bahwa beliau akan datag dua hari lagi. Dengan penuh kesabaran, aku menanti kedatangan orangtuaku. Satu persatu santriwati yang dirawat di BKSM pergi meninggalkan tempat untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif di rumah sakit. Sedih sebenarnya, tetapi aku harus tetap bersabar dan bertahan. Aku masih ingat sekali pada hari selasa, pukul sepuluh pagi. Akhirnya ibuku datang seorang diri karena ayahku berada di Blitar saat itu. Ternyata ibu sedang tidak enak badan juga. Tetapi beliau memaksakan diri untuk menemuiku karena kekhawatirannya. Setiba di BKSM, ibu segera mengemasi barang-barangku dan membawaku ke Puskesmas Mantingan. Pertamanya aku heran, kenaa harus ke Puskesmas? Kenapa tidak ke rumah sakit saja seperti yang lain? Ibu pun menjawab, “Tadi mama udah mampir ke Puskesmas dan ada rawat inapnya kok! Seenggaknya kamu bisa dirawat di sana dulu. Nggak usah jauh-jauh ke Sragen, soalnya mama juga lagi nggak enak badan, takutnya nggak kuat waktu naik bis”. Setelah mendengarkan penjelasan ibu, akhirnya aku menuurut saja. Ibuku memang orang yang tidak tegaan, beliau pun membawa adik kelasku yang juga sakit di BKSM bersamaku karena kami adalah pasien terakhir. Saat itu i sangat lemas. Bahkan untuk berjalanpun ia harus dibopong. Ternyata masih ada satu orang lagi tersisa di kamar lain. Sedihnya, dia sedang berada di tengah jalan, terduduk di atas lantai dengan baju yang cukup kotor. Ibuku sempat bertanya, “Namanya siapa, dik?” Dan ia pun menjawab dengan sangat lirih, “Rayhan...” Kemudian ibuku bertanya lagi, “Mamanya mau kesini apa nggak?” Ia menjawab, “Nggak tau...tapi kata ustadzah mau dibawa ke Sragen...” Dan ibuku berpesan, “Ya udah, yang sabar ya, tidurnya di atas kasur, jangan di bawah! Nanti tambah sakit!” Setelah mengakhiri pesannya, ibu mengajaknya untuk bangun dan naik ke atas tempat tidur. Tetapi ia malah menangis kencang dan tetap ingin berada di atas lantai. Terlihat dari wajagh ibu bahwa beliau ingin membantu anak itu. Tetapi di sisi lain, aku dan Hanum telah menanti dengan lemasnya. Akhirnya aku dan Hanum dibawa ke Puskesmas dengan menggunakan ojek. Sesampainya disana, aku segera diinfus sebagai pertolongan ertama dan langsung menjalai tes darah. Dokter berkata kalau aku harus dirawat inap. Tanpa pikir panjang, ibuku langsung mengiyakan saran Dokter tersebut. Tak lama setelah iu, aku dan Hanum dibawa ke sebuah ruangan sederhana. Didalamnya tersedia dua set tempat tidur dan kamar mandi tanpa TV dan sofa seperti di ruang VIP. Biaya yang ditarik sangat murah. Hanay Rp 10.000/hari untuk setiap kamar. Maklum, itu kan hanya Puskesmas daerah yang tugasnya meringankan beba para penduduk sekitarnya. Tapi aku kagum dengan Puskesmas ini, pegawainya ramah, rapi, teptanya bersih walau sangat sederhana. Dan satu yang paling penting yaitu perawatannya bagus. Baru dua hari saja aku dirawat, badanku lebih terasa segar. Begitupula dengan Hanum. Walau dia sangat susah sekali untuk disuntik, namun kondisinya sudah membaik. Suatu saat, ketika aku sedang menyantap makan siang, ibuku mengatakan bahwa di sebelah kamar yang aku tempati ini, sedang dirawat pula salah satu pekerja di Koperasi Dapur (Kopda). Yang kudengar-dengar, namanya Dika. Aku sempat kaget dan idak percaya. Tapi setelah aku selidiki sekaligus mengintipnya dari pintu jendela yang menghubungkan kamarku dengan kamar sebelah, aku baru percaya bahwa yang ibu katakan adalah benar. Ternyata buan santriwati saja yang terserang tifus, para pekerjanya juga ikut erserang penyakit ini. siapa yang menyangka, kalau malam itu aku mendapat kejuan besar. Tept setelah makan malam, ada tamu yang ingin menjengukku. Karena ditutup dengan tirai, aku tidak bisa melihat langsung siapa yang datang. Yang jelas, sang tamu berkata, “Assalamu’alaikum Bu... Mau besuk. Katanya ada Mbak Satri yang sakit ya?” Ibuku menjawab, “o iya, masuk saja Pak!”. Aku yang mendengar dari balik tirai bertanya-tanya siapa yang sebanarnya datang. “Pakai kerudungnya dik, ayo Mbak Hanum juga, itu ada bapak-bapak yang mau menjenguk!”, kata ibu. Aku dan Hanum semakin penasaran. Kemudian ibuku membuka tirai. Betapa terkejutnya kami berdua ketika kami tahu bahwasanya yang datang ialah bapak-bapak dan mas-mas yang bekerja di Kopda sebagai penanak nasi. Aku sempat bingung, malu, tak percaya ketika aku sadar bahwa orang-oang yang ada di hadapanku adalah orang-orang yang setip harinya menyediakan nasi untuk kita makan di pondok. Ternyata mereka usai menjenguk Dika yang sedang sakit di kamar sebelah. Sekalian menjenguk, katanya. Setelah berbincang lama dengan ibu dan aahku, akhirnya mereka pamit pulang. Sebelum tidur, aku sempat tertawa sendiri mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Keesokan harinya, hasil tes darahku sudah keluar. Dalam hasil tes tersebut menyatakan bahwa aku hanya mengidap gejala tifus. Alhamdulilah, ini cukup membahagiakan. Apalagi setelah itu, aku mendapat kejutan spesial lain dengan hadirnya mbak-mbak yang menjadi penjaga cafe dan pembantu di rumah para madamat. Untuk kali ini merek tak hanya sekedar datang menjengukku. Mereka membawa masakan untukku dan Hanum juga memijat badanku. Sebenarnya aku sungkan, tapi apa boleh buat. Mereka tak mau melepaskan tangannya dari badanku. Semenjak kedatangan bapak-bapak pekerja di kopda itu, setiap hariny apasti ada saja yang datang menjengukku. Walaupun mungkin itu smeua karena mereka usai menjenguk tetangga samping kamarku. Tak apalah. Kedatangan mereka cukup berarti. Setelah genap smeinggu aku di puskesmas, perawat mengabarkan bahwa hari ini akan ada inspeksi oleh kepala puskesmas Mantingan untuk mengontrol keadaan pasiennya. Tepat jam delapan pagi tiba giliranku utnuk diperiksa oleh dokter tersebut. Dokternya sangat ramah, baik, walaupun sudah sepuh tapi beliau masih enerjik. Di tengah perbincangan antara ibu dan dokter itu, aku bertanya, “Dokter... besok sudah boleh pulang atau belum?” “Jangan besok. Lusa saja, ya!” jawab dokter itu. “Tapi besok ada KMD dan wajib diikuti. Kalau nggak ikut, nanti bisa-bisa ikut yang tahun depan.” Kemudian dokter itu menjawab sambil tertawa, “Oh... kamu anak Gontor mau ikut KMD? Saya ini nanti tutor KMD.” ‘Ya Allah... ternyata di puskesmas ini membuatku bertemu dengan banyak orang yang belum kau kenal sebelumnya’ batinku “Habis typhus itu harus istirahat,” nasehat sang dokter. Ternyata dokter itu adalah dokter Pudjo Sardjono. Beliau ketua puskesmas Mantingan sekaligus menjabat sebagai ketua LEMDIKACAB Ngawi. Aku bersyukur sekali. Karena di saat sakit seperti ini aku mendapat pelajaran. Aku bisa bertemu dongan dokter Pudjo dan dapat berbincang-bincang langsung dengan pekerja pondok yang selama iini kita pandang sebelah mata. Dalam keadaan mereka yang susah, mereka masih sempat untuk memikirkan orang lain yang sama sekali tidak mereka kenal. Mereka sangat peduli dengan sekitarnya. Kekurangan dalam hal materi tidak menjadi alasan untuk memutus tali persaudaraan. Seandainya saja semua orang di dunia seperti mereka, pasti akan terasa indah. Maka dari itu, jangan sesekali kita meremehkan orang lain dan menganggap diri kita paling sempurna. Karena suatu saat kita akan membutuhkan mereka dan belum tentu kita dapat lebih baik dari mereka di hadapan Allah. Hari Minggu aku pulang ke pondok dengan kesedihan yang cukup dalam meninggalkan ruang sederhana dimana aku mendapat pelajaran hidup dan kebahagiaan karena aku sudah sembuh. Sayang, ibuku sedang bersedih mendengar kabar bahwa santriwati yang bernama Rayhan yang dulu kita jumpai di BKSM telah meninggal dunia. Karena perawatan yang mungkin terlambat. Ibuku sangat menyesal karena mengapa tidak membawanya juga ke pukesmas. Tetapi ayahku menghibur. Beliau berkata, “Mungkin memang sudah takdirnya. Nasib orang siapa yang tahu?” Ibuku hanya tersenyum sambil berkata, “Makanya Ryn, kalau punya niat baik jangan ditunda sebelum akhirnya menyesal. Nanti kalau ada temanmu atau siapa saja ynag sakit segera dibantu siapapun dia. Biasanya orang yang kesakitan itu diam saja, tapi sebenarnya dia nahan. Jadi di pondok itu harus tolong-menolong.” Aku menganggukkan kepala sambil terenyuh atas nasehat yang kudengar dan kejadian-kejadian yang membuatku paham dengan satu pelajaran baru dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar