Minggu, 19 Agustus 2012

Kini dan Esok Nanti By. Maulidina Niharotul

Saat itu aku kelas dua. Sosoknya selalu menemaniku. Di kelas maupun di kamar. Menjadi ikon kamar terlebih saat harus berduet pentas Idul Adha di rayon. Kami menyanyikan lagu Ratu Sejagad dengan penuh ekspresif. Kami semakin dekat saat bersama menggoda seorang anak luar negri di masjid. Tapi kedekatan itu hanya bertahan selama setengah tahun. Akhir tahun yang memisahkan kamar kami ternyata juga memisahkan hubungan kami berdua hingga kelas enam. Panggung Gembira, kupikir itulah mula dari segala cerita yang berlanjut hingga saat ini dan mungkin nanti. Aku menjadi seorang penanggung jawab koor yang juga disibuki sebagai pelatih paskibra. Saat latihan koor selesai dan aku dapat mengambil waktu istirahat setelah paskibra pun yang turut pulang, aku memperhatikan latihan-latihan para teman yang akan meramaikan acara akbar ini. Di sayap kiri auditorium yang menghadap out bbound terdapat latihan acara opera yang diambil dari cerita bawang merah dan bawang putih. Mengikuti konteks Opera van Java yang dibawakan Perto dan teman-temannya di salah satu stasiun televisi swasta. Aku hanya memperhatikan latihan tersebut yang minus pemain. Aku menggeleng-geleng dan bangkit menuju para pemain. “Kalau kayk gini nggak bakal seru! Ditambah dhalang aja biar lebih lucu!” seruku. Argumen itu ternyata disambut baik. Aku akhirnya menjadi seorang dhalang di acara tersebut meski tidak dapat mengikuti latihan full. Acara yang sempat diboikot karena tak ada visi dan misinya ini selalu berganti cerita setiap kali tampil di depan para pembimbing. Sehari sebelum Panggung Gembira pun acara masih belum juga dapat settle. Dengan modal kepercayaan tingkat tinggi kami maju dan mendapat applause yang cukup hebat. Salah satu acara yang paling banyak diminati saat Panggung Gembira. Keseragaman sifat para pemain Opera Panggung Gembira membuat kami dekat satu sama lain. Terlebih dengan ia yang juga saat ini satu kelas denganku. Pertemanan kami yang sempayt renggang bahkan seakan tak pernah kenal itu pun kembali terjalin. Bila orang lain hanya tahu bahwa kami dekat dimulai saat Panggung Gembira, maka sejujurnya kami adalah salah satu dari sekian banyak kelas enam yang teman lama bersemi kembali. “Yur, kue cucur hati-hati.” Itu salah satu kode etik kami saat ingin curhat tentang apa saja masalah yang ada. Entah dari kamar, bagian, teman, ataupun sebaginya. Bagiku ialah bagian dari hidupku kini dan semoga nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar