Minggu, 19 Agustus 2012

Sahabat, Mengapa Kau Berubah? By. Nur Hijjah

Ini tentang perjalananku bersama seorang sahabat. Karena sahabat menurutku adalah anugerah yang terindah yang Tuhan beri. Pertama kali bertemu saat aku masih menjadi calon pelajar di Gontor Putri dua. Ia adalah teman sebangkuku, kami selalu belajar bersama dan saling menjemput. Tak pernah lupa setiap istirahat kami membeli pop ice di depan gedung Makkah sambil melihat ke sawah. Seakan pemandangan yang kami miliki itu tak menembus batas. Pernah suatu ketika kami meminum pop ice sambil menangis karena tidak betah. Ternyata kelulusan memisahkan semua itu. Ia lulus di Gontor Putri satu dan aku tetap di Gontor Putri dua. Selang setengah tahun, aku dipindahkan ke Gontor Putri Satu. Belum lama pindah ternyata aku harus kebingungan karena kehilangan Al-Qur’an, hingga malam aku masih bingung mencari Al-Qur’an yang tak lupa kuberi namaku itu. Tengah malam ia datang ke kamarku sambil membawa Al-Qur’an tersebut. Ternyata ialah yang menemukanya. Mungkin ada hikmahnya jaga Al-Qur’anku hilang, karena akhirnya aku dapat bertemu kembali setelah lama berpisah. Lama waktu berjalan, hingga akhirnya kami duduk di kelas yang sama saat kelas tiga. Salah satu pengalaman yang tak pernah kulupa yaitu saat aku mencucikan bajunya dan ia yang menyetrika, dalam bahasa kami adalah join-an. Besok aku bawwabah (jaga gerbang) dan ternyata ia lupa menyetrika baju pramukaku. Kami berdua bingung kalang kabut. Hanya satu alternatif yang kami miliki, yaitu menyetrika malam. Entah dimana dan bagaimana caranya akhirnya kami susun strategi saat sore menjelang. Kami memilhi jemuran di belakang rayon Indonesia Empat sebagai aksi yang akan kami jalankan itu. Pukul dua pagi dan langit pun masih gelap, aku mendatangi rayonnya. Selimut yang biasa ia pakai untuk menyetrika ternyata sedang dipakai orang lain untuk membungkus tubuhnya yang sedang kedinginan. Kami mengambilnya dengan paksa, meninggalkan ia tidur kedinginan terlebih lagi ia tidur di dekat pintu. Tanpa banyak bicara dan pikir panjang kami pergi ke jemuran Indonesia empat. Membuat setrikaan hingga asap mengepul layakya kami seorang mbah dukun. Kami melakukan aksi tersebut hingga datangnya subuh. Waktu terus berjalan dan kami semakin jauh. terlebih saat kami tak lagi satu kelas , menyapa pun tidak. Aku tak tahu mengapa itu terjadi sseakan kata sahabat tak tertanamkan apalagi tumbuh. Mungkin saat ini ia telah menemukan teman yang lebih baik, yang selalu membuatnya tertawa dan bahagia, walau aku tak pernah melupakannya. Aku berharap semoga kami bisa mengulang berita dulu lagi gerbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama . Semoga Allah membetikan yang terbaik Wahai teman, jika kau sejenak mengingat kisah itu lihatlah ke belakang dan aku selalu menunggumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar