Minggu, 19 Agustus 2012

JANJI KECIL By. Brilliant Wardah

Dulu aku periang Dulu aku selalu senang Bagiku, tawa adalah warna Tak ada satupun yang kurasa kurang dalam hidupku Intinya, -aku bahagia Hari-hariku penuh irama-bersama khayalan naruto, buku perpustakaan, komputer LCD, serit elektrik, sepeda, pohon di belakang aula, susu, mpek-mpek 5000, bola kaki, kucing, bahkan bayi tikus pun sempat menggoreskan toreha-torehan dalam hatiku. Semua itu kulalui bersama “TEMAN KECILKU” Namun lambat laun, aransemen hidupku berubah Aku jadi pendiam Aku perenung Bahkan, tak jarang menitikkan buliran air mata Aku kesepian..... Aku sendirian....... Apa yang terjadi dalam hidupku? Baiklah! Aku tak boleh terpuruk teus seperti ini.. INTROPEKSI dimulai! Dan perbaukkan kugalakkan! Memang tak dapat kupungkiri, semua ini butuh waktu yang tak sedikit sehari, seminggu, sebulan, bagiku tak cukup tapi aku tetap berusaha bangkit huft...... sangat melelahkan........ energi negatif tekuras.... dan akhirnya,- kini kumendekati puncak pemahaman aku mengerti hikmah dari semua ini berkatmu..... aku bisa berpikir lebih jauh aku bisa leih dewasa aku bisa lebih tegar aku bisa mandiri aku bisa berimajinasi lebih luas aku biukan plagiat lagi aku lebih percaya diri ku yakin pada diriku sendiri aku lebih menghargai apapun menemukan sisi baik dari orang lain lebih menyadari betapa berharganya setiap individual yang aku kenal aku jadi lebih bisa menerima orang apa adanya dan yang lebih penting..... kutemukan jati diriku. Kini aku lebih bisa berekspresi atas keyakinan yang ada pada diri ini- Bagiku, inilah arti kebangkitan yang tak sadar kau berika padaku! Trima kasih TEMAN KECILKU___ Kau telah mengajarkanku apa arti kehidupan Kau telah memahamiku bahwa tawa Bukanlah segalanya,- Mungkin awalnya pahit, namun akhirnya benar-benar berarti Dan suatu hari nanti,- Aku bukalah orang yang kau lihat saat ini Begitu pula dirimu di masa depan Kau pasti jadi orang sukses Dan pastinya aku tidak mau kalah Aku dijalanku, dan kau dijalanmu Mungkin, jika benar hari itu akan tiba,- Hari dimana ku lihat sosok mirip dirimu yang tampak cantik dengan seragam penerbangannya, maka kukan menghampiri dan bertanya, “masih ingatkah engkau dengan lagu asuga kuru kara?” jika masih ingat, maka kukan pekikkan, “horee.. aku bertemu dengan teman kecilku!!” dengan semua memoar yang ku punya... dan kutunjukkan gelas merahku. Gelas kebanggaan!!! Ataupun jam swiss army yang mena.... Yah, itu semua hanya sepihan kecil kenangan masa lalu. Kadang ku bergumam, kenapa semua begitu kilat berlari? Hmmm. Semua itu berlalu begitu saja, seiring bertambahnya umur dan bergantinya zaman. Namanya juga remaja, butuh masa peralihan. Hanya saja,- ada satu janjiku yang belum kutepati, mungkin tak seberapa. Namun, memenuhinya merupakan kepuasan tersendiri bagiku. Janji tetap janji,- suatu saat nanti kutepati. Hanya satu yang belum. Mungkin itulah yang terakhir,- Terima kasih__ ishima uzumaki,- Teman kecil tak selamanya bisa main bersama. Ada kalanya waktulah yang bermain,- Namun. Mengenalmu merupakan Hadiah yang jauh lebih berharga Dari 100 komik naruto

Bie-em By. Dinka Wijayanti

Mungkin sedikit aneh dengan judul dia atas................ Tapi gitu-gitu bersejarah banget tempat itu buatku. Tak tau bagaimana awal mula ceritanya disitulah base camp-ku. Eitts tunggu dulu... Ni tuh waktu mahjar. Hari-hari indah yang kulalui di pondok ini... kalau bisa dibilang di mahjar itu lebih semuanya, lebih rajin, khusyu’ baik and etc... Oia....... kembali ke laptop! Bie-em.... Mungkin waktu itu Allah telah mentakdirkan delapan orang untuk bertemu dan menjalin persahabatan. Yach.. sekedar belajar bareng, sahur bareng, buka bareng, sedih juga bareng.. Diawali dengan sebuah pelajaran matiq.. Ya.. itu dia... diantara delapan orang ini.... hanya satu yang paham dengna pelajaran itu... nah, posisinya... kita semua satu rayon.. yaitu rayon tercinta kita yordania.. dengna adanya orang yang paham dengan mantiq tadi, pastinya kita gak bakalan ngelewatin kesempatan emas buat minta bayan ke orang yang satu itu.... Ya udah... kita bareng-bareng minta bayan about mantiq... selesai... paham... alhamdulillah! Awalnya sich tempat kita buat saling ajar mengajari pelajaran di belakang qo’ah.. tapi.. karena dekat kamar kecil.. so pasti bau lah ya... Kita pindah ke bie-em (babul mukhoyyam).... Awalnya... biasa aja... Cuma belajar di situ... gak pake acara-acara “bascamp”. Tapi.. lama-kelamaan.... hehehe... Kita tidur di situ... nongkrong... sampe-sampe bikin mading penyemangat belajar di situ. Dari tempel-menempel foto motivator kita... terus tempel jadwal “FINAL EXAM” dan kata-kata penyeangat kita.... Rasanya indah banget.... gak pengen terlupakan dan masih banyak kejadian-kejadian seru yang kita alami di ditu... Pesan-pesanku buat anak-anak bie-em. Teruslah kepakkan sayapmu tuk meraih asa... and don’t forget me!

ARTI SAHABAT By. -Lyaz d’Cliff

Ketika kaki kita menapaki kampung nan damai ini, harapan demi harapan tuk dapatkan pelajaran hidup berharga selalu ada dalam benak kita. Hingga akhirnya kita menemukan pelajaran hidup yang sangat berharga dan tak mungkin kita dapatkan di luar sana. Yaitu jihad dalam mendapatkan segudang ilmu yang diiringi dengan suatu musibah yang dapat menggufah hati kita dalam meraih pretasi yang kita inginkan. Dan di sinilah kita akan mengerti akan arti jihad yang haqiqi dan dalam berjihad di kampung nan damai ini kita selalu bersama, yang mana saling memotivasi satu sama lainnya. Di saat kita melemah, di sinilah kita mengerti apa arti sahabat yang sebenarnya. Ternyata tuk menggantikan pentingnya arti sahabat, kita harus saling memiliki kepercayaan satu sama lain, saling memeberi pengertian, memahami sifat satu sama lain, bagaimana cara kita menjaga perasaan kita terhadap temen dekat ataupun sahabat kita itu akan mengantarkan kita dalam menguatkan tali persaaudaraan diantara kita. Kehidupan kita semakin hari disemuri dengan indahnya suatu kekeluargaan yang myngkin belum pernah kita temui di kampung nan damai ini sebelumnya. Persahabatan yang saling melengkapi diantara kia yang membuat kita semakin mengerti akan arti perjuangan hidup bersama teman-teman yang saling jauh dari kedua orang tua kita.lantuan doa yang tak pernah henti terlontarkan dalam sujud kita. Namun, yang mahakuasa selalu memberi kenyamanan dan kekompakan dengan adanya persahabatanya ini. suasanya yang sangat berbeda kita rasakan di gubuk ninxia B 2010 tercinta. Setelah beberapa masalah menyelimuti kita semua dengan adanya perselisihan yang tiba menjemput kita membuat persahabatan kita menjadi semakin goyah tuk mempertahankannya, entah apa penyebab ini semua yang dapat menghancurkan kita dikit demi sedikit yang memisahkan persahabatan ini mungkin tidak sejalam dengan kita entah kenapa?? Pertanyaan ini yang selalu kita pertanyakan dalam benak kita semua. Namun tak ada satu jawaban pun yang menghampiri kita untuk sampai akhir perjuangan kita di kampung nan damai ini. apakah ini yang dinamakan persahabatan berakhir pada waktunya. Kini hanya kenangan belaka yang telah memberikan banyak pelajaran hidup, perjuangan haqiqi diantara kita. Dan sekarang tiba saatnya diujung perpisahan to get our success. Thanks a lot for all yang telah mewarnai dan berperan dala realita kehidupan ini.

Be the best but don't feel the best

Senang rasanya menjalani kehidupan yang penuh dengan lika-liku. Seperrti perjalananku menuntut ilmu terutama di pondok ini. Aku merasa sangat bangga atas semua ini. Indah jika dilihat dan nikamt jika dirasakan segala rasa manis kehidupanu selama di pondok. Pertama kali saat aku menjadi calon pelajar yang sangat polos dan tak mengerrti apapun tentang pondok ini. Aku memulainya dari nol. Sampai saat ini aku telah menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Senelumnya aku tidak pernah mendengar kata-kata jaros, thobur, to’to’an, semuanya asing di pendengaranku. Setiap kali mendengar azan Subuh, saat itu pula kumengingta rumah. Mengantri untuk makan aku ingat rumah, bangun tidur pun aku langsung ingat rumah. Hanya rumahlah yang ada di benakku. Aku yang harus menerima apa ynag ada di pondok. Dari makan, antri telepon, mandi, dan amsih banyk lainnya. Tapi semua itu indah setelah aku rasakan. Setelah aku berada di gontor Putri 1 aku mulai beradaptasi bersama teman sebayaku di kelas maupun di luar kelas, dan juga ketika kegiatan ekstrakulikuler. Aku memulai membuka lembaran baru untuk bisa menjadi lebih baik, aktif, dan bisa memahami peraturan di pondok. Ketika aku sudah berada di kelas lima, aku lebih merasakan betapa lelahnya diriku. Harus mengurus anggota rayon, gugus depan pramuka, rayon dan segala yang membuat kepentingan pribadiku harus tertunda. Tapi aku merasa sangat senang karena dari sini aku telah banyak memetik berbagai pengalaman yang begitu berharga. Belajar menjadi orang yang sabar, teliti, kuat, dan p[atut dicontoh. Inilah pelajaran yang selalu kuambil. Selama ini aku selalu menunggu masa dimana aku menjadi kelas enam. Sepertinya bebas dari segala peraturan. Itu yang aku dengar dari kakak-kakakku sebelumnya. Dan ternyata tak semudah dan sebebas yang aku kira. Di kelas enam harus bisa menajdi contoh ynag terbaik untuk adik-adik, mengikuti segala perkumpulan yang begitu padat, sampai-sampai sholat pun diabsen. Ketika karantina harus belajar mati-matian, lupa tidur dan makan, yang lebih parahnya kami harus kehilangan satu per satu dari teman-teman. Sampai segala sesuatu yang kita kerjakan layaknya ujian di kelas enam. Lebih banyak sabar dan berdoa. Tinggal beberapa langkah lagi. Terimakasih untuk semuanya. Wali kelas yang sudah menyemangati kita, bapak pengasuh dan direktur, para guru-guru yang telah memberikan ilmu pada kita. Kita berusaha untuk mencoba menjadi yang lebih baik. Be the best but don’t feel the best.

SEKALI LAGI, TERIMA KASIH GONTOR.. By : Fikria Muzakky Aminy

Bermula dari kehidupanku menjadi seorang calon pelajaran Gontor Putri. “Fik, ibu pulang dulu ya! Jaga diri baik-baik, belajar yang rajin ya Nak,!”. “Baik bu!”, kataku. Ketika itulah aku dan temnku memulai kehidupan baru. Berjuang untuk menuntut ilmu tanpa orang tua di samping kami. Ditinggal oleh ayah ibu merupakan hal yang sangat biasa bagiku. Bahkan dulu kunci rumah kepegang sendiri. Satu persatu aku berkenlaan dengan teman-teman yang datang dari berbagai provinsi bahkan luar negeri. Subhanallah! Aku suka dengan mereka semua. Mereka semua memanggilku ‘Ustadzah Kodok’. Yah, itulah panggila favorit mereka pada saat itu. Sebuatn itu ditujukan untukku karena aku cerewet dan suka mengajari mereka Imla’. Kami semua bahagia hingga kelulusan pun tiba. Kami semua tersebar ke cabang Gontor yang lainnya. Kelulusan masuk Gontor Putri telah kuraih. Kini, aku resmi menjadi pelajar Pondok Meodern Gontor Putri 1. Berbagai pelajaran dan suasana baru aku lewati. Hingga suatu saat aku dapati sebuah perlombaan Tilawatil Qur’an antar individu. Aku sempat tertarik dan ingin mrncobanya. Tingkatan demi tingkatan aku lewati secara hati-hati. Dan pada akhirnya aku bisa sampai pada Grand Final of MTQ. Alhamdulillah. Ini semua berkat do’aku dan do’a orang tuaku serta wali kelasku. Ustadzah Annisa Susanti. Berbagai dukungan bersorak-sorai menunngu keberhasilanku dari teman-teman seperjuangan. Kelas 1 2007. Aku bangga karena aku bisa mengangkat nama baik angkatan. Tak ketinggalan pula ketika itu, Masyithoh Anis sebagai MHQ dan Vina Itaul sebagai juara III Pidato Akbar. Terima kasih Gontor. Tahun demi tahun berlalu bagaikan angin begitu cepat. Kini saatnya aku memampagkan papan nama orange ku. Hidup Robiee’!!! Kata anak Darussalam, kehidupan klas emapat itu adalah kehidupan pondok yang paling berkesan. Tapi bagiku tidak. Itu nomer dua setelah kehidupan kelas enam. Di tahun itu aku mulai suka dengan pramuka. Sebenarnya dari kelas dua, tapi aku akan lebih mengamati lebih serius lagi hingga saat aku menduduki Robiee’. Sepertinya aku telah tersihir oleh pramuka. Aku benar-benar cinta dengan materi di dalamnya. Seperti semaphore, sandi, morse, PPPK, terjun ke lapangan, out bond dan sebagainya. SCOUT IS MY BLOOD. Dan di tahun ini juga kita diberi kesempatan untuk menjadi panitia dalam acara-acara ataupun organisasi. Sehingga kita dibimbing untuk menjadi orang yang bisa cekatan, mem-planning, dan bertanggungjawab atas kerjanya masing-masing. Sekali lagi terima kasih Gontor..... Dunia kekanak-kanakan telah sirna. Pondok telah memberiku amanah sebagai pembimbing rayon. Tepatnya di rayon Al-Azhar. Sebelumnya aku pernah ditunjuk menjadi Ketua Bagian Bahasa Rayon. Dengan itu semua aku makin cinta dengan bahasa. Yaitu Bahasa Inggris maupun Bahasa Arab. Memegang ratusan anak bukanlah hal yang mudah. Butuh kesabaran dan perjuangan yang tinggi serta sedikit rasa keibuan untuk menghadapi mereka. Alangkah sulitnya moment itu. Aku da kawan-kawanku dilatih untuk bertanggungjawab atas anggota rayonnya. Subhanallah. Sekali lagi.. Terima kasih Gontor... Sekarang kami berada pada penghujung perjuangan di pondok Gontor. Duduk di bagu kelas enam. Rintangan yang selalu meghampiri kami, jumlah kami yang selalu berkurang, praktek mengajar, karantina, ujian lisan berpasangan, itu semua tidak akan kami lupakan dari pikran kami. Semua itu terasa indah. Bagaikan bunga menari-nari di bawah sinar matahari yang begitu cerah. -Biddua’ Watafaul...Naqdir Ala Husuli-n-Najah...- Ya, itulah senjata kami agar kami selalu kuat untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi. Kita harus buktikan bahwa.... KITA BISA!!!!!!! Sekali lagi... Terima kasih Gontor.....

Sahabat, Mengapa Kau Berubah? By. Nur Hijjah

Ini tentang perjalananku bersama seorang sahabat. Karena sahabat menurutku adalah anugerah yang terindah yang Tuhan beri. Pertama kali bertemu saat aku masih menjadi calon pelajar di Gontor Putri dua. Ia adalah teman sebangkuku, kami selalu belajar bersama dan saling menjemput. Tak pernah lupa setiap istirahat kami membeli pop ice di depan gedung Makkah sambil melihat ke sawah. Seakan pemandangan yang kami miliki itu tak menembus batas. Pernah suatu ketika kami meminum pop ice sambil menangis karena tidak betah. Ternyata kelulusan memisahkan semua itu. Ia lulus di Gontor Putri satu dan aku tetap di Gontor Putri dua. Selang setengah tahun, aku dipindahkan ke Gontor Putri Satu. Belum lama pindah ternyata aku harus kebingungan karena kehilangan Al-Qur’an, hingga malam aku masih bingung mencari Al-Qur’an yang tak lupa kuberi namaku itu. Tengah malam ia datang ke kamarku sambil membawa Al-Qur’an tersebut. Ternyata ialah yang menemukanya. Mungkin ada hikmahnya jaga Al-Qur’anku hilang, karena akhirnya aku dapat bertemu kembali setelah lama berpisah. Lama waktu berjalan, hingga akhirnya kami duduk di kelas yang sama saat kelas tiga. Salah satu pengalaman yang tak pernah kulupa yaitu saat aku mencucikan bajunya dan ia yang menyetrika, dalam bahasa kami adalah join-an. Besok aku bawwabah (jaga gerbang) dan ternyata ia lupa menyetrika baju pramukaku. Kami berdua bingung kalang kabut. Hanya satu alternatif yang kami miliki, yaitu menyetrika malam. Entah dimana dan bagaimana caranya akhirnya kami susun strategi saat sore menjelang. Kami memilhi jemuran di belakang rayon Indonesia Empat sebagai aksi yang akan kami jalankan itu. Pukul dua pagi dan langit pun masih gelap, aku mendatangi rayonnya. Selimut yang biasa ia pakai untuk menyetrika ternyata sedang dipakai orang lain untuk membungkus tubuhnya yang sedang kedinginan. Kami mengambilnya dengan paksa, meninggalkan ia tidur kedinginan terlebih lagi ia tidur di dekat pintu. Tanpa banyak bicara dan pikir panjang kami pergi ke jemuran Indonesia empat. Membuat setrikaan hingga asap mengepul layakya kami seorang mbah dukun. Kami melakukan aksi tersebut hingga datangnya subuh. Waktu terus berjalan dan kami semakin jauh. terlebih saat kami tak lagi satu kelas , menyapa pun tidak. Aku tak tahu mengapa itu terjadi sseakan kata sahabat tak tertanamkan apalagi tumbuh. Mungkin saat ini ia telah menemukan teman yang lebih baik, yang selalu membuatnya tertawa dan bahagia, walau aku tak pernah melupakannya. Aku berharap semoga kami bisa mengulang berita dulu lagi gerbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama . Semoga Allah membetikan yang terbaik Wahai teman, jika kau sejenak mengingat kisah itu lihatlah ke belakang dan aku selalu menunggumu.

PANTANG TAKUT By.Rani Suryandari

Teng..teng..teng..lonceng berbunyi enam kali. Suara itu berasal dari bel utama di depan pengasuhan yang menandakan pertemuan kelas enam bila dibunyikan sebanyak enam kali. Mendengarnya membuat jantung berdebar, di lain pihak juga memiliki kebanggaan tersendiri karena panggilan itu hanya diperuntukan bagi siempunya angkatan, yaitu kelas enam. Pertama kali diperdengarkan adalah saat kerudung merah muda pertama kali disampirkan. Dengan ini mulailah perjalanan hidup yang baru setelah menghadapi rintangan hidup. Kini aku mulai merasa paling besar dan masa yang paling enak, tapi kenyataannya itu semua pahit. Kita harus menahan hawa nafsu, menjaga sikap,dan lain lain. Saat ingin menjadi lebih baik dan berubah sebaik mungkin, beberapa kenyataan ternyata kurang mendukung. Di kelas enam ini aku memakai kerudung pelanggaran senanyak tiga kali. Ini semua adalah sebagai pengalaman bagiku dan orang lain. Pertama kali karena rambut pendek, yang kedua karena sholat dan makan di kamar, dan yang terakhir karena ngobrol di masjid. Bukan maksud sebenarnya. Hanya keceplosan sura hatiorang kelaparan. Semoga tak akan terulang lagi. Pada bulan maret adalah masa ketika adik-adik kita pindah kamar kecuali Andalusia. Bukan hanya pindah kamar, tapi sekaligis pindah rayon karena Andalusia akan dipakai menjadi kelas. Shok sebenarnya, karena persatuan kami yang sangat kuat harus merenggang. Biasanya ke kopda dan ke masjid nomor satu kini menjadi nomor dua dan selanjutnya. Sekitar februari akhir ujian lisan awal tahun aku menjadi bagian pengajaran di panitia ujian. Tidak ada yang menyangka karena aku yang seperti ini. Sebuah prngalaman yang luar biasa.pada tujuh juli 2012 kami pindah yang ketiga kalinya setelah karantina. Pindahlah kami dari Iran ke Santiniketan. Saking padatnya dam kotor,kita menaruh barang-barang di kamar mandi, di bawah jemuran rayon Andalusia, kta pun istirahat senentar , maklum saking capeknya. Namun bukanya nyaman malah kepanasan namanya juga jemuran.karena disitu banyak kasur kita akhirnya tertidur. Menjadi bahan tertawaan bagi anggta pun tak kami hiraukan, karena kami menganggap mereka sebuah patung yang mungkin ba=isa tertawa.tak apa yang penting masih hidup. Itu semua haya bermodalkan rasa percaya iri yang tinggi, dan selalu menunjkan diri kita apa adanya. Rara generasi tangguh, kita harus memiliki sifat percaya diri yang tinggi dimanapun kita berada, tapi jangan lupa harus didasari sifat positif dalam bertindak.

Manisnya Itu Setelah Lelah By. Mandrasi Amirah

Dimulai dari satu keinginan tanpa keterangan yang jelas. Yaitu menjadi seseorang yang dibebani sebuah amanah. Aku kira semua itu mudah dan menyenangkan. Tibalah saatnya di pagi yang sepi, semuanya masih terlelap dalam mimpinya. Aku terbangun dalam lelahku. Dengan keraguan dan ketidakpastian kuhampiri sebuah kamar yang sepi. Kamar staf Pengasuhan. Tanpa kata-kata yang ditujukan olehku datanglah sebuah angket yang harus aku isi. Aku bertanya-tanya, untuk apa semua ini? Mengapa mereka menanyakan riwayat hidupku. Ketika sang surya berpamitan menuju naungannya, jantungku mulai berpacu begitu cepat. Aku kaget bukan main. Jawaban yang aku inginkan dari kertas yang aku dapatkan tadi pagi terjawab sudah. Menjadi seseorang yang diberikan beban lebih. Memang smeua itu adalah kemauan dan keinginanku. Menjadi kader Bagian Penerangan. Aku tak tahu harus bagaimana. Senang? Sedih? Semuanya bercampur menjadi satu. Bismillahirrohmanirrohim. Kumulai kehidupan baruku menjadi salah satu anggota di Bagian Penerangan. Semua kulakukan dengan penuh keikhlasan. Aku menemukan kehidupan baruku di kamar tiga Syanggit. Hidup bersama kakak-kakak dari Bagian Peningkatan Bahasa dan Penerangan. Semua itu kurasakan begitu indah. Menyenangkan dan mengesankan. Meskipun mereka bukanlah orang yang aku kenal sebelumnya. Seperti hidup di dua alam. Antara kelas lima dan kelas enam. Tak jarang aku mendengar tentang angaktanku yang tentunya selalu saja ada konflik meskipun sedikit antar dua angkatan ini, tapi mau bagaimana lagi? Aku kini hidup bersama kakak kelas. Masa bodolah! Yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku mendapatkan pengetahuan yang banyak untuk bekalku membimbing teman-temanku nanti apabila mereka akan meninggalkanku kelak. Dari sinilah aku merasakan kedekatanku dengan teman-teman yang begitu erat. Meskipun dibilang BF muthor, tapi keempat temanku yabg sudah kuanggap menjadi separuh kebahagiaanku selalu memberiku semangat saat aku kalut akan masalah pekerjaan. Merekalah yang selalu menemaniku. Empat bulan berlalu. Ketakutan itu mulai datang ketika estafet kepengurusan OPPM diberikan. Tangisku tak tertahankan lagi. Kakak-kakak yang selalu megajariku tak lagi di sini. Hanya aku yang berdiri seorang diri untuk melewati beban ini. Mengemban tugas untuk menjadi bagian Penerangan sekaligus menjadi tutor bagi teman-temanku di bagian yang lumayan rumit ini. Namun aku mencoba bertahan. Karena ini barulah permulaan perjuanganku. Satu tahun berjalan begitu saja. Meski banyak masalah di dalam pekerjaan, entah itu keegoisan atau ketidakserasian. Yang jelas, inilah ladzatu-t-ta’bi dalam sebuah pekerjaan.

Kini dan Esok Nanti By. Maulidina Niharotul

Saat itu aku kelas dua. Sosoknya selalu menemaniku. Di kelas maupun di kamar. Menjadi ikon kamar terlebih saat harus berduet pentas Idul Adha di rayon. Kami menyanyikan lagu Ratu Sejagad dengan penuh ekspresif. Kami semakin dekat saat bersama menggoda seorang anak luar negri di masjid. Tapi kedekatan itu hanya bertahan selama setengah tahun. Akhir tahun yang memisahkan kamar kami ternyata juga memisahkan hubungan kami berdua hingga kelas enam. Panggung Gembira, kupikir itulah mula dari segala cerita yang berlanjut hingga saat ini dan mungkin nanti. Aku menjadi seorang penanggung jawab koor yang juga disibuki sebagai pelatih paskibra. Saat latihan koor selesai dan aku dapat mengambil waktu istirahat setelah paskibra pun yang turut pulang, aku memperhatikan latihan-latihan para teman yang akan meramaikan acara akbar ini. Di sayap kiri auditorium yang menghadap out bbound terdapat latihan acara opera yang diambil dari cerita bawang merah dan bawang putih. Mengikuti konteks Opera van Java yang dibawakan Perto dan teman-temannya di salah satu stasiun televisi swasta. Aku hanya memperhatikan latihan tersebut yang minus pemain. Aku menggeleng-geleng dan bangkit menuju para pemain. “Kalau kayk gini nggak bakal seru! Ditambah dhalang aja biar lebih lucu!” seruku. Argumen itu ternyata disambut baik. Aku akhirnya menjadi seorang dhalang di acara tersebut meski tidak dapat mengikuti latihan full. Acara yang sempat diboikot karena tak ada visi dan misinya ini selalu berganti cerita setiap kali tampil di depan para pembimbing. Sehari sebelum Panggung Gembira pun acara masih belum juga dapat settle. Dengan modal kepercayaan tingkat tinggi kami maju dan mendapat applause yang cukup hebat. Salah satu acara yang paling banyak diminati saat Panggung Gembira. Keseragaman sifat para pemain Opera Panggung Gembira membuat kami dekat satu sama lain. Terlebih dengan ia yang juga saat ini satu kelas denganku. Pertemanan kami yang sempayt renggang bahkan seakan tak pernah kenal itu pun kembali terjalin. Bila orang lain hanya tahu bahwa kami dekat dimulai saat Panggung Gembira, maka sejujurnya kami adalah salah satu dari sekian banyak kelas enam yang teman lama bersemi kembali. “Yur, kue cucur hati-hati.” Itu salah satu kode etik kami saat ingin curhat tentang apa saja masalah yang ada. Entah dari kamar, bagian, teman, ataupun sebaginya. Bagiku ialah bagian dari hidupku kini dan semoga nanti.

Gontor... the Best Place Ever By. Aini

One thing must be understanding and unforgetable about thing in this boarding school. That’s a manner to study. So different than the other school. Pertama memang terasa berat sekali untuk bersekolah di Gontor. Dengan segudang kegiatan dan pelajaran ditambah dengan jauhnya rumah yang menajdi faktor tidak betah. Tapi dengan paksaan orang tua yang terus menyemangati dan selalu bilang bahwa tidak ada tempat belajar yang kurikulumnya sebaik Gontor. Dengan memaksakan diri aku terus jalani hari dei hari di sekolahku ini. Ditambah lagi ketika aku mendesak ayah untuk pindah sekolah, tapi ayah hanya bilang satu kalimat dengan makna yang luas. Bahwa ia sangat bangga menyekolahkanku di Gontor. Bukan karena apa, tapi mungkin karena ayah juga pernah belajar di Gontor. Jadi ia sangat ,mengerti pengaruh besar dalam belajar di pondok. Dalam hatiku aku berkata, “Sekolah di sini membuat ayah bangga.” Hal apa lagi yang harus aku lakukan untuk membuat ayah bangga dan mendapat ridhonya Kalau hanya dengan bisa sekolah di sini saja membuat ayah bangga. Kubultkan tekadku untuk dapat memeruskan sekolah di sini. Semuanay untuk ayah dan semata-mata karena Allah. Satu hal yang memberikan kesan di pondok ini selain pendidikan adalah gemblengan mental agar menjadi kuat melalui keseharian, bersosialisasi, dan masih banyak lainnya. Cara belajar Gontor memang berbeda dan kuakui baru kutemukan dan kurasakan yang namanya belajar sungguh-sungguh. Hanya di Gontor. Karena dulu selalu dilanda kemalasan dan terasa tak pernah kenal apa arti belajar yang sesungguhnya. Tapi di Gontor aku temukan semuanya. Dengan paksaan, kerja keras, dan segenap hati juga karena ada rasa kompetisi telah memberikan pengaruh besar tentang belajar ala Gontor. Untuk kawan-kawanku seperjuangan, bersyukurlah bahwa kita masih memiliki kesempatan untuk belajar di sini dan dapat merasakan banyak hal yang berguna untuk masa depan kita.

Jumat, 17 Agustus 2012

1433-syawal

kangen juga lebaran di pondok. Atas segala khilaf,,,, mohon maaf lahir dan bathin!

TUGAS DAN SUBUH By. Unknown Author

Dewasa adalah dapat menempatkan diri dimanapun dan kapanpun itu. Setelah kelas enam pun kita harus siap diletakkan dimana pun dengan tugas apapun itu. Jadilah aku (penjaga gerbang) di gerbang Pakistan pada panitia ujian. Kata orang bawwabah itu berbahaya dan menyeramkan, bukan karena banyak setan atau makhluk halus apapun, tapi terlebih karena gerbang adalah penyambung kehidupan dunia pondok dan luar sehingga menjadi sangat penting untuk dijaga. Keterlambatan seakan tak diampuni walau semenit karena begitu pentingnya. Saat hari pertama bawwabah aku terpaksa harus menjaga gerbang sendiri. Minusnya bawwabah adalah faktor kejenuhan, terlebih lagi jika sendirian. Antara lapar, ngantuk, mual, dan bajuku yang basah dikarenakan hujan membuatku tak dapat membayangkan sembilan hari ke depan. Untung saja aku mendapatkan pengganti partner yang cukup menyenangkan. Terlambat ketika bawwabah membuahkan berdirinya aku ketika evaluasi pagi. Tentu saja aku malu di depan teman-temanku. Akhirnya aku bertekat untuk bangun lebih pagi dan berlari agar dapat tepat waktu tiba ditempat. Hari-hari bawwabah selanjutnya, yang pertama kali kuingat saat bangun tidur adalah gerbanng Pakistan. Aku menyegerakan mandi dan siap- siap untuk berangkat sebelum salah seorang temanku mengingatkan untuk sholat subuh. Astaghfirullah! Ternyata yang kuingat pertama kali bukanlah sholat melainkan gerbang Pakistan yang seolah tengah menungguku datang. Berangkat sebelum fajar menjelang dan pulang hampir petang karena penggantiku di sore hari belum juga datang yang kerap telat datang membuatku seakan memiliki rumak ke dua di gerbang Pakistan. Selesai menjadi panitia ujian membuatku memiliki kenangan tersendiri dengan gerbang Pakistan dan subuh. Pelajaran yang kuambil selain harus bermuka riang alias baasyasyatu-l- wajhi adalah mengingat sholat sebelum pekerjaan lain.

TONGKATKU YANG MENANGIS By. Hafsah sundusiah

Masih teringat kembali bagaimana aku dapat berdiri kini, menjadi seorang pembimbing gugus depan, bukanlah menjadi salah satu impianku. Berfikir pun tak pernah. Menjadi utusan konsulat dan dikeluarkan dari deretan orang-orang yang akan menjadi pengurus OPPM lalu menjadi pembina gugus depan setelah sebelumnya aku sakit karena rasa kecewaku yang berkepanjangan. Aku hanya mempunyai firasat bahwa aku harus bangkit pada hari kamis itu. Kini aku melihat anak-anakku tertawa bahagia untuk piket gudep terakhir bersamaku. Kesemangatan dan kehadiran mereka yang lengkap membuatku seakan tak pernah sedih saat menjadi bindep. Membuat pionering dan gapura yang sangat kokoh dan indah. Itu pertama kali yang kulihat. Secercah senyum bahagia selalu tersungging diwajahku. Setelah lelah mengikat tali dan simpul yang menjadikan pioneering itu terbangun, tak ada lagi yang dapat kufikirkan selain rasa bangga sekaligus sedih karena akan meninggalkan semua ini sebentar lagi. Tak lama setelah itu, suara motor yang tak asing lagi terdengar menghampiri kami. Saat itu terbesit di hatiku untuk segera melepas penyangga gapura yang menghalangi jalannya motor jalannya mesin itu lebih cepat dari kakiku untuk meraih penyangga gapura hasilnya naas sudah gapuraku yang terlindas roda motor saat itu hanya suara jeritan kecil adika muda 17-32 dan suara krek..dari kayu yang rapuh dengan tidak puasnya beliau melindas tongkat kejayaan gudep 17-32 dengan berkomat kamit sumpah serapah beliau turun dari motor dan dengan gagahnya memotong tongkat kejayaan milik gudepku tanpa ada kata panjang hanya ada tangisan pilu dari hatiku baru kusadari air mata ini menetes saat salah satu adika 17-32 menghiburku ‘’bunda jangan sedih...’’seketika itu tak kuasa ku menatap runtuhnya gapura kokoh yang sudah kami buat selama dua malam. Aku menangis semalaman. Tetapi saat aku terpuruk aku teringat akan janjiku untuk terus tetap tegar sebagai pembina gugus depan dan sebagai ibu dari anggota muda gugus depan 17-32. Kulangkahkan kaki kutanamkan dalam hati aku tak boleh lelah demi kejayaan gudep tercinta 17-32.

Piala, Gaun, dan FARES By. Intan Larasati

Bermula dari rasa penasaranku pada pramuka di pondok ini. Kuikuti seleksi LPG/Tpi dan ternyata Tuhan berpihak padaku. Sampai akhirnya rasa cinta pada pramuka merasuki sanubari ini. Tibalah saat untuk berkompetisi dalam pemilihan duta gudep. Semalam suntuk aku berjuang untuk menguasai segala materi dan praktek-praktek tentang pramuka. Ujian antar gudep pun dimulai dan hanya tinggal do’a yang tersisa untuk dapat lolos ke babak selanjutnya. Sampailah pada malam diumumkannya para mujahidah kasyfiyyah yang lolos lima besar di tiap gugus depan. Alhamdulillah, ternyata aku termasuk dari lima orang tersebut. Saat itu pula temanku yang kita sebut di sini sebagai Kia, lolos bersamaku ke babak selanjutnya. Awal mulanya kami berlima bersaing sehat tanpa rasa iri. Namun tibalah saat hati seorang bunda diuji dan bayangan akan kekalahan menghantui, sehingga mendorong hati bunda untuk mendukung salah satu di antara kami berimingkan kemenangan. Aku tak tahu tentang kebenaran kabar tersebut, yang jelas rasa iri mulai merasuki kalbu ini hingga derai air mata tak kuasa kubendung atas ketidakadilan ini. Sempat aku berfikir untuk mengundurkan diri dan mempersilahkan Kia untuk tetap berjuang membawa nama rayon kami, Bahroin. Tapi bekat support darinya aku dapat bangkit dari keterpurukan ini. Hingga akhirnya kami berjanji untuk berusaha mekasimal membangkitkan nama gudep dan rayon. Detik pernyataan atas siapa yang akan maju ke panggung pun terlewati. Aku dan Kia tak lolos saat itu. Air mata meleleh untuk kesekian kalinya. Nasehat-nasehat terucap dari teman-temanku. Aku kemudian berpiki, mungkin Tuhan memiliki rencana lain atas semua ini. Tahun pun berganti. Papan nama oren menyapa dan kuning terlalui. Saat itu pula keinginan untuk dapat memajukan pramuka semakin menjadi. Dewan Kerja Koordinator (DKK), mungkin inilah salah satu jalannya. Takdir Tuhan tak akan kemana. Kuharap inilah jawaban atas segala do’a akan duta gudep yang terlalui. Tak hanya sampai di situ, Duta Nisaiyah yang tak pernah tersirat dalam benakku pun kudapatkan. Mustahil rasanya bersaing dengan orang-orang hebat di zona rayonku. Namun inilah kehendak Tuhan dengan meloloskan diriku sampai maju di atas panggung. Meski tak ada dukungan dari pengurus rayon, tapi FARES family selalu setia mendukungku. Hanya itulah kekuatanku kala itu. Tiada yang kuharap selain doa orang-orang sekitarku dan restu orang tua. Waktu terus berlalu hingga hari dimana acara itu terselenggara tiba. Sedangkan gaun dan sepatu tak ada dikarenakan postur tubuhku yang tinggi. Ingin rasanya kuteriakkan sekencang-kencangnya atas semua ini. Tak ada sandaran tempatku bercerita selain keluarga Tunas tempatku bernaung. Pagi itu tak akan pernah terlupa sampai kapanpun. Dimana hatiku bergejolak tak karuan. Semua harapan untuk menjadi yang terbaik dan materi yang telah kupelajari menguap, seakan tak pernah kuhapalkan apalagi kubaca. Terhapus oleh air mata yang mengalir melalui pipiku yang telah terpoles bedak. Gaun krem dan sepatu hak tinggi hitam yang diberikan oleh koordinator menemaniku untuk maju ke panggung. Sedih memang. Aku merasa menjadi anak yang terbuang sia-sia kala itu. Pengurus tiada yang datang menyaksikan. Teman pun demikian, karena banyaknya acara pada hari itu. Yang tersisa hanyalah doa. Dengan mata sembap dan hati yang tak karuan kulaui acara itu hingga akhir. Kejuaraaan pu diumumkan tanpa ada lagi harapan akan menang. Karena kutahu jawaban yang kulontarkan dari tadi tidaklah memuaskan bagi dewan juri. Mata terpejam dan air mata kembali meleleh saat pengumuman. Juara satu dan dua telah diumumkan. Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui bahwa dirikulah yang mendapat juara tiga dalam acara ini. Puji dan syukur kupanjatkan padanya. Mustahil rasanya mendapatkan ini semua. Sorak sorai keluarga Tunas dan FARES bersenandung di telingaku. Karena saat itu FARESlah pemilik tunggal kejuaraan tersebut. Inilah yang selalu menjadi motivasi yang kupegang dalam hidupku. Bahwa jika satu pintu kegagalan terutup, maka akan ada beribu-ribu pintu kesuksesan terbuka bagi kita. Jadikanlah pengalaman sebagai guru yang terbaik.

Pelajaran Dalam Setiap Gerakan By. Alfaina Zia Inayati

Hati ini hanya terpaut pada satu pilihan, yaitu Gontor. Seakan jantung ini berhenti berdetak. Darah pun berhenti mengalir. Lemah tak berdaya. Hanya karena iming-iming uang saku lebih yang akan kudapat, kuserahkan jiwa raga ini pada ibunda Darussalam. Ibunda yang mengajariku apa arti hidup, berbagai pelajaran mulai dari angka nol, arti sahabat, dan penemuan jati diri. Aku seseorang yang ambisius. Atau mungkin karena aku termasuk orang yang tak mau mengalah. Semua yang kuinginkan harus kudapatkan, tapi di sini aku belajar bahwa apa yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita. Bahkan Allah memiliki jalan tersendiri yang pasti lebih baik untuk kita jalani. Seperti Allah mengganti keinginanku untuk menjadi Bagian Olahraga ke Bagian Kafetaria. Sedih memang. Tapi kumenemukan hikmah yang tersendiri darinya. Allah telah menunjukkanku bagaimana menjadi seorang pedagang yang harus memperhatikan secara detail dagangannya. Memperhitungkan pendapatan setiap harinya, juga menunjukkanku betapa beratnya ibu membersihkan rumah yang selalu dituntut untuk menjaga kebersihan dan higienisnya segala sesuatu. Etalase, kulkas, lantai lengket, gorengan jatuh, tak kan pernah hilang dari ingatanku. Apalagi moto kafe, DENGAN ROTI LA TANSA, SUSU KEDIRI, KAMI CIPTAKAN MANUSIA BERBADAN SEHAT SEPERTI KAMI. Tentu khususnya aku yang kini terlihat benar-benar bengkak. Bagaimanapun joroknya dan bengakknya badanku, aku tetap sayang pada kafeku. Dan kisah yang benar-benar akan selalu terkenang adalah saat aku harus bertatap muka dengan bapak kyai kita. Bukan karena aku orang yang memiliki nama di angkatan, bukan juga karena aku mumtaz, apalagi karena prestasiu yang melambung, tapi karena kenakalanku yang membuncah. Kerudung oren-biru terlanjur melekat di kepalaku. Kelalaian, kurang khusyu’, meremehkan, seakan diri ini benar-benar buruk di mata orang dan khususnya Allah. Aku malu, benar-benar malu. Suasana yang sepi dan sunyi. Keadaan pun mencekam bak rumah hantu. Aku terpaksa memencet tombol bel rumah. Sesaat setelah itu, sosok tegar itu muncul. Ingin rasaya aku memakai topeng untuk menutup wajahku. Ditambah betapa malunya diri ini saat aku harus mengakui bahwa aku anak didiknya. Enam C. Hanya untaian maaf yang dapat keluar dari bibir ini. Aku tak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji. Membersihkan halaman, mencabuti rumput, belajar di rumah beliau setiap apginya adalah hukuman yang diberikan. Aku merasa sedikit lega, setidaknya aku tak harus keluar dari Darussalam ini. Dan yang terlalu mengesankan dan tak terungkap oleh kata-kata adalah saat mengingat perjuangann suka-duka Magenta untuk menjadi the real Magenta. Kita tangguh. Kita bisa. Semoga obor kita masih bertahan sampai kita menemukan jalan keluar. Amin.

PAHAMI PONDOK SEUTUHNYA by. Ratih

Matahari siang itu begitu terik. Dengan berseragamkan pramuka dan kerudung pembimbing coklat tua, aku mengambil shiftku untuk menjadi juru parkir saat menjadi panitia penerimaan murid baru di lapangan depan bagian penerimaan tamu. Banyak kendaraan yang sudah memadati pondok. Maklu saja, hari ini aalah hari terakhir untuk kembali ke pondok. Rasa haus karena lelah mengisyarat tangankan pada kendaraan-kendaraan tersebut dan tiupan peluitku yang tak kunjunghenti sdari tadi. Kepalaku pening. Terlebih melihat mobil yang tak juga menuruti isyarat tanganku. Sebuah mobil berwarna silver berbelok tak menuruti isyaratku. Berkali-kali kutiupkan peluitku, tapi tak ada respon dari mobil tersebut. Dengan garang dan rasa etos kerjaku yang tinggi aku menghampiri mobil tersebut. Mobil itu berhenti. “Maaf Bapak, mobilnya tidak boleh berbelok, jadi silahkan memutar balik,” tegurku. Kaca mobil di bagian dekat sopir terbuka. Terlihat sosok seorang pemuda yang tersenyum. Aku tak butuh senyuman. Pikirku. Penumpang di sebelahnya melongok ke arahku. Kulihat sosok seorang wanita yang bersahaja yang kurasa tak asing lagi bagiku. “Ukhti..., “ sapanya. Siapa ya? Tanyaku dalam hati. Aku melirik stiker GONTOR yang menempel rapi di kaca mobil. Aku mulai memutar otak, siapa gerangan wanita ini? Astaghfirullah! Mungkin aku melihat wanita ini, tapi wajahnya begitu familiar. Ya beliau adalah istri dari salah satu pim[inan pondok GONTOR, kyai haji Hasan Abdullah Sahal. Sudang barang tentu beliau sefang mengantarkan putrinya. Aku hanya dapat menjawab sapaan itu dengan senyumanku yang berindikasikan rasa malu dan bersalah. Setelah itu mobil itu berlalu meninggalkanku yang masih diliputi rasa malu.

NO HIDING! BE OK! By : Elok Arina

Cerita ini bermula di saat bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah yang didalamnya hanya ada pennduduk kecil, yakni kelas 5 2011.. Di bulan yang penuh rahmat inilah kita dibina, dididik, dan digembleng untuk menjadi angkataan yang tangguh di kelas 6 nantinya. Sebagai mukimat abadi sepanjang bulan Ramadhan, kita selalu terjadwalkan untuk bersih-bersih pada pagi dan sore hari, lengkap dengan sapu lidi yang menjadi senjatanya. Suatu malam . . . Bel tanda perkumpulan berbunyi 5 kali, tapi entah apa yang ada dipikiran sampai akhirnya aku dan teman-teman terlalu santai dan terlambat. Dan mungkin, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau lebih kasarnya daripada dimarahin ustadzah gara-garaa telat, lebih baik mikir jalan pintas yaitu..... SEMBUNYI! Tapi memang benar, memilih ‘jalan pintas’ yang tidak pas akan membuat hidup was-was dan merasa dihantui. Apalagi posisi rayon Al-Azhar yang dekat dengan masjid –tempat pekumpulan, dan memungkinkan menjadi sasaran empuk staff Pengasuhan untuk menggerebek TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang dijadikan objek untuk bersembunyi. Saat itu, kita hanya bisa mengendap-endap dan melihat apa yang terjadi di luar sana melalui jendela yang bisa diintip dengan sembunyi-sembunyi. Apa mau dikata, keadaan semakin merisaukan. ‘Sang Staff Pengasuhan’ mengabsen penduduk rayon kita dan ternyata memang yang hadir hanya 4 orang. Terlebih saat ustadzah bertanya, “Mana yang lain?” Keadaan semakin menegang dan yang ada di pikiran kita hanyalah penggerebegan yang sangat mungkin terjadi. Akhirnya dengan keadaan terhimpit, kita menyusun rencana untuk membuat markas persembunyian. Aku mendapat tempat di belakang lemari dan yang lain terpencar di sudut kamar yang terbilang sangat sempit. Ada pula yang terpaksa ‘sakit’ dan terbalut selimut demi menghindari penggerebegan yang tak bisa diprediksikan waktu kedatangannya. Sesak, penat, dan segala macam rasa yang benar-benar tak bisa ditoleransi lagi. Setelah selesai perkumpulan, 4 orang yang ikut perkumpulan itu datang dan terheran-heran ketiika melihat keadaan kamar yan g kosong melompong. Akhirnya, kita semua keluar dari tempat ppersembunyian diriingi dengan gelak tawa. Yah, ternyata tak ada penggerebegan! Kita pun tetap ikut bersih-bersih dan berjanji tidak akan sembunyi lagi. Lagipula, bersembunyi hanya akan merugikan dan menyesakkan. Kalau masih bisa ikut kumpul, kenapa harus sembunyi?

MIMPI YAN TERTUNDA By. Pertiwi Rahayu

Mimpi? Bicara tentang mimpi pasti semua orang memilikinya. Mimpilah yang menjadi motivasi terbesar dalam kehidupan. Bila tak ada mimpi, bagaimana kita akan mencapai tujuan hidup? Manusia sempurna setingkat Rasulullah pun emmiliki mimpi. Egypt. Ya, mungkin ini mimpi terbesar yang aku miliki. Motivasiku untuk menjadi santriwati di Gontor dan dapat menguasai bahasa Al-Qur’an yaitu bahasa Arab. Waktu pun tak terasa cepat bergulir. Tahun demi tahun telah berganti tahun. Waktu yang terus bergulir telah membawaku menuju kelas lima KMI. Tepat tahun 2011 kumantapkan hati dan kubulatkan tekad untuk mengikuti beasiswa study tour ke Mesir. Kalau tidak salah kuingat, hari itu adalah hari Sabtu. Saat kulangkahkan kakiku menuju salah satu kelas di gedung Aisyah. Berteman rasa takut tapi berbekal do’a aku duduk di bangku pojok barisan pertama. Hanya sedikit buku dan kamus yang kubaca. Ridho-Nyalah yang kuharapkan. Empat lembar kertas mendarat di hadapanku. Kubaca perlahan dan kumulai menggoreskan ujung pena hitamku. Kertas itu berupa satu lembar formulir dan tiga lembar soal tes. Dalam kalbu aku pun berbisik. Ya Allah... izinkan hambaMu ini untuk merangkul mimpi itu. Walau tak kuasa pula sejuta pertanyaan bersarang di hadapanku. Akankah semua ini dapat kuraih? Dua hari berlalu. Pengumuman pun telah dibacakan di masjid. Entah perasaan apa yang kurasakan saat itu. Takut, bahagia, terharu, semuanya kurasakan saat namaku terpanggil. Air mata menetes dengan sendirinya. Bersimpuh di hadapan-Nya. Sujud syukur kupersembahkan. Terimakasih Ya Rabb. Terimakasih atas segalanya. Satu langkah lagi yang harus kulalui. Memberitahu kedua orang tuaku. Selasa malam salah satu staf KMI menghubungi mereka dan ternyata disetujui dengan mudahnya. Sungguh, tak pernah terbayangkan. Akhirnya aku dapat merasakan hawa Mesir dengan sendirinya tanpa mengkhayal karena cerita orang. Semua persyaratan pun telah diurus. Pembuatan pasport, pengukuran blazer, bahkan baju dan tas sdah siap. Namun Tuhan memiliki rencana yang berbeda. Sebuah masalah pun datang tatkala kebahagiaanku tengah membuncah. Masalah ekonomi yang beitu rumit. Orang tuaku ditipu oleh rekan bisnisnya yang membuat pailit berkepanjangan. Salah seorang teman ayah membawa kabur uang saham yang ditanamkan ayah pada salah satu perusahaan. Itulah yang menghancurkan semuanya. Sungguh kehendak-Nya tak dapat ditentang siapa pun. Kurang satu minggu ujian akhir tahun, namun pembayaran SPP belum juga terpenuhi. Penat yang kurasakan padasaat itu. Apakah harus kubatalkan kepergianku ke Mesir? Dan biaya itu dapat kugunakan untuk kebutuhan lain yang belum terpenuhi. Bingung. Ya, mungkin ini yang aku rasakan. Namun seorang ayah tentu tak rela melihat mimpi anaknya hancur dengan membatalkan keberangkatanku. Sejuta usaha telah ia lakukan. Mungkin Tuhan memliki jawaban lain dari setiap do’aku. Kumantapkan hatiku. Kata batal pun terlontar dari bibir. Air mata tak hentinya mengalir dengan derasnya. Mimpiku pun tertunda. Ini semua menuntutku agar tetap tegar. Bersikap dewasa. Pilihan dan keputusanku menentukan semua mimpi yang sudah di depan mata ternyata lenyap dengan mudahnya. Tak sedikit pun rasa kecewa yang ada dalam hatiku. Namun rasa bangga yang begitu besar terhadap kedua orang tuaku yang selalu ingin membahagiakanku. Ini tak membuatku jatuh tersimpuh dalam keterpurukan. Namun semua ini menjadi motivasi. Tekadku pun tercipta. Akan kubuktikan bahwa aku bisa lebih baik dari mereka. Lembaran buku aku baca dengan penuh harapan untuk dapat mengukir kembali senyuman kedua orang tuaku. Yudisium pun tiba. Panggilan pertama dibacakan. Terimakasih ya Allah.... ternyata ini jawaban dari setiap do’a dan usaha. Dear magenta.... Jangan berhenti bermimpi. Walau jatuh bangkitlah kembali karena Allah memiliki rencana yang indah untuk kita semua.

Menembus Batas Perjuangan By. Unknown Author

Kini saatnya aku untuk banyak-banyak bersyukur. Benar bila orang bijak katakan bahwa jika ingin mengetahui berharganya waktu satu tahun itu maka tanyakanlah pada orang-orang yang tinggal kelas. Pertama kali masuk ke kelas itu banyak perasaan bimbang dan ragu yang tak terucap. Wajahku pun tertekuk. Aku bukan akan memasuki rumah hantu atau dukun bersama jin yang yang menemani, tapi hanya sebuah kalas yang isinya bukanlah teman-teman yang kukenal, bukan juga teman-teman seperjuanganku dulu. Enggan sebenarnya, tapi aku memberanikan diri dengan hanya bertamengkan bismillah dalam hati. Kupandangi satu persatu wajah-wajah baru itu yang seakan tak mempedulikan kesedihanku. Mereka tertawa bahagia. Bahagia telah menduduki kelas baru. Ya, merekalah yang akan menjadi teman dalam jihadku selama ini dan selamanya untuk meraih keberhasilan yang tertuda. Aku tak memaksa diri tapi tanpa kusadari air mata meleleh begitu saja tanpa henti. Orang lain hanya melihatku heran tanpa tahu harus berkata apa pada kakaknya ini. Dalam tangis itu ku hanya dapat menyesal walau sesal itu tak akan mengembalikan waktu kembali. Berani berbuat maka berani bertanggung jawab. Aku menghirup napas dalam-dalam. Aku bisa! Kini kutatapi kalender yang menggantung. Hanya tinggal pembekalan, study tour, haflatu-t-takhrij dan terakhir yudisium. Tak terasa sebentar lagi aku akan menyelesaikan program studi KMI ini. Biar saja aku terlambat jikalau aku dapat menjadi lebih baik. In uriidu illa-l ishlah.

Fakta dari Google By. Unknown Author

Nama angkatan? Bahkan kelas enam pun tak diperbolehkan memiliki nama angkatan. Magenta sendiri hanyalah nama sebuah nama yang diambil karena itulah warna baju yang kami dapatkan. Tapi bagi kelas empat yang memiliki gengsi tinggi dan tak mau kalah oleh kelas empat dari tahun-tahun berikutnya, maka nama angkatan adalah topik yang selalu hangat diperdebatkan di kalangan kami. Bermodalkan pede karena lemounajh trois yang menjadi nama angkatan saat kelas tiga adalah gubahanku dan seorang temanku, aku memberanikan diri untuk mengajukan nama angkatan. Dari pada tak ada? Meraih mimpi. Hanya itulah kata yang terbenak dalam otakku kala itu. Aku yang disebut tukang mimpi, pemimpi, atau apalah itu selalu menulis deras kata-kata mimpi atau membaca tentang orang-orang yang berhasil karena mimpi. Sebut saja mereka Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dan lain-lain. Selain itu, kelas empat adalah masa dimana kita harus dan wajib memperjuangkan mimpi yang telah kita torekan dulu. Sleain menjadi nama tentu juga menjadi doa. Bila nama angkatan terdahulu itu keren karena d’, el-, atau semacamnya itu yang notabene adalah bahasa asing. Baik bahasa Prancis, Belanda, Arab yang diplesetkan, ataupun bahasa Spanyol. Tak lama sebelum GSD, nama angkatan pun belum juga terpenuhi. Aku bergegas ke wartel untuk meminta bantuan ia yang telah lama merawatku dan yang telah memberikan gennya hingga aku dapat seperti ini, ayah. “Ayah.... bisa nggak artiin meraih mimpi ke bahasa Prancis, Spanyol, sama Latin?” Kalau tidak salah seperti itu redaksi kata yang kuucap. Langsung dijawab dengan kebingungan oleh ayah. Beliau hanya dapat mengiyakan. Kemajuan teknologi selalu menjadi jalan keluar akan segala permasalahan. Internet! Tak lama ayah datang menjengukku. Pagi sebelum masuk sekolah, aku merobek ujung koran yang kosong tulisan untuk kutulis ‘calon’ nama angkatanku itu. Hnaya ada dalam bahasa Prancis dengan faire des vos raves dan bahasa Spanyol dengan pretenito tu sonar. Dengan berbangga hati aku membawanya ke kelas yang langsung kuhamburkan pada teman sekelas. Mereka semua masih belum beragumen panjang. Tepat saat itu adalah pelajaran Insya’. Seusai wali kelasku memberikan pelajaran, aku dan salah seorang teman maju ke hadapan beliau untuk menyerahkan nama tersebut. “Ustadzah... yang bahasa Prancis aja biar lebih keren!” sorak sorai teman sekelas. “Dimusyawarahi dulu.” Kami sekelas denagn pede langsung mambai’at nama tersebut sebagi nama angkatan dan disingkat menjadi FARES. Entah setelah itu ada yang menulis d’FARESt, varest, FARES, atau apapun itu yang terpenting kami memliki nama angkatan. Tanpa disengaja ada yang enyeletuk bahwa nama pemeran utama GSD diambil dari nama FARES. Gloria el-varezt. Yang berarti al-Farisi. Orang Persia. Tamatlah sudah cerita FARES saat liburan akhir tahun. Saat kami harus mempersiapkan diri untuk menjai seorang pengurus rayon yang dituntut untuk menjadi dewasa. Tapi ternyata cerita itu belum selesai juga bagi sang empunya pemberi nama. Saat aku sedang membereskan perpustakaan kecilku, aku menemuka kamus Prancis-Indonesia milik ayah yang sudah menguning karena terlalu lama tersimpan. Aku iseng mencari kata ‘faire’ dan ‘rave’ dalam kamus. Bettapa terkejutnya kau yang etrnyata tak ada makna meraih imimpi dalam dua kata itu. Kata ‘faire’ sendiri bermakna peri. Aku lalu menghubungkan ponsel dengan opera mini agar dihubungkan pada internet dan aku bisa menanyakan kebenarannya pada Google Translete. Aku mengotak-atik kata demi kata. Tak ada respon. Hanya satu kata yang emmiliki makna. FARES dalam bahasa Inggris berarti tarif. Wah, bila seangkatan tahu akan hal ini apa jadinya aku? Mungkin yang tahu hal ini hanya sebagian orang, tapi tanpa peduli akan makna dari nama tersebut, namun hanya satu yang kuyakini pasti. Teman-teman seangkatanku pun pasti selalu mengingat FARES sebagai masa dimana bahagia itu selalu menguap dalam atmosfer. Never ending story!

BIARKAN MIMPI ITU DIGANTI By. Rosita Ana

Berawal dari kehidupanku di kelas tiga, Lemounajh Trois, tepat di awal perjalanan ini aku memakai kerudung pelanggaran karena suatu masalah yang bertentangan oleh peraturan Pondok. Di tahun inilah ujian untuk menjadi anggota staf OPPM diadakan. Dengan rasa minder akibat kerudung yang tersampir di kepalaku ini, aku terus mengikuti ujian staf OPPM. Meskiaku tak masuk dalam satu staf pun. Aku cukup sedih atas kegagalanku ini. Di tahun berikutnya, kelas empat di awal tahun ajaran baru, aku masih memiliki kesempatan untuk mengikuti ujian staf OPPM, yaitu DKK (Dewan Kerja Koordinator) dan JMK (Jumi’atu-l-Khithobah), kedua staf inilah yang menjadi prioritas pertamaku dari awal. Menjelang ujian itu, aku telah mempersiapkan segala kebutuhanku, mulai dari belajar semaphore, sandi-sandi, tali temali dan semua hal yang berhubungan dengan kepramukaan. Di sisi lain aku juga mempersiapkan tex pidato dan menghafalnya hingga di luar kepala. Dan sepengetahuanku tentang ujian staf bahwa uajian antar staf tidak diadakan dalam satu waktu. Aku tenang dengan keputusan itu. Hari ujian staf DKK tiba, aku sudah siap dengan seragam pramukaku lengkap dengan buku-buku kepramukaan. Ketika aku sudah mantap dengan persiapanku, kuhampiri teman yang mempunyai maksud yang sama denganku. Di depan rayon Indonesia Empat, aku berdiri sambil mendengar berita yang dibacakan oleh bagian Informasi, bahwa ujian untuk staf bagian pengajaran (JMK) akan dilangsungkan waktu ini juga. Aku bingung, sangat bingung, apa yang harus aku pilih? Dengan sedikit menghela nafas aku lebih memilh DKK karena menurutku aku lebih siap menghadapinya. Selang beberapa hari pengumuman staf OPPM telah menyebar, tak ada surat di lemariku yang menyatakan aku menjadi DKK. Namun tanpa kusangka, aku terpilih menjadi staf pertamanan. Alhamdulillah ini tak seburuk yang aku kira. Aku selalu ingat bahwa Allah tak memberi apa yanng kita mau namun apa yang terbaik untuk kita. Di tahun terakhirku di pondak ini, aku menjadi bagian pengajaran dan yang lebih aku tak sangka ketika aku menjadi pembimbing JMK. Ya.. mungkin aku tidak pernah menjadi JMK namun aku menjadi pembimbing JMK di tahun terakhirku. Selalu berfikir positif bahwa Allah akan mengganti dengan yang terbaik do’a kita yang tertunda.

Berkorbanlah dan Kau Jadi Korban! By. Muzakkiyah Noor

Kejadian itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Mei 2010, dini hari. Tanggal paling historial dalam kamus kehidupanku. Ketika itu, aku duduk di kelas empat KMI. Alhamdullillah, aku berkesempatan untuk menjadi anggota Majalah Lintas Darussalam –staff kejurnalistikan, yang dipelopori oleh Bagian Diskusi Ilmiah dan Penerbitan. Saat itu, Bagian Bahasa Pusat mengadakan lomba drama berbahasa antarstaff OPPM. Disitulah kemampuan berbahasa dan berakting kami diuji. Persiapan pun dimulai, mulai dari pembuatan struktur bagian, casting dan berbagai persiapan lainnya. Aku diamanahkan untuk menjadi editor dan mengemban tugas untuk mengetik naskah dan membuat buku pintar yang hanya bertemankan laptop dan printer. Hari H semakin dekat dan itu berarti bahwa persiapan-persiapan pun harus dicanangkan secara matang. Padahal jam latihan sangat terbatas. Kala itu, aku dan teman-teman hanya diberi waktu hingga pukul sebelas malam, dan itu benar-benar sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan latihan kami. Dengan dalih kebutuhan akan latihan, seringkali kami melewati batas waktu dan tanpa diharapkan, kami kena Bagian Keamanan dengan tuduhan keluar kamar di atas jam 11. 26 Mei 2010, 00.30 WIB Mungkin ini sudah teralu larut malam. Tapi tempat latihan tak mungkin dikosongkan mengingat perlombaan akan diadakan dua hari lagi. Akhirnya kami membagi tugas. Ada yang berkumpul di aula Kwait untuk menyelesaikan casting, berkumpul di perpustakaan bawah untuk menyelesaikan letter dan sisanya bertugas untuk menyelesaikan ketikan naskah yang bertempat di perpustakaan lantai dua. Diantara yang bertugas menyelesaikan ketikan naskah adalah aku, dan lima temanku lainnya. Lampu perpustakaan sengaja dimatikan agar cahaya tak bisa menyusup sedikitpun dan agar tak ada yang bisa menerawang ke jendela perpustakan. Sandal-sandal di depan perpustakaan disembunyikan agar jejak kami tidak tercium oleh Bagian Keamanan. Benar, bagian Keamanan benar datang. Tapi untungnya kami lebih dulu mencium jejaknyaa daripada ia yang mencium jejak kami. Strategi untuk bersembunyi benar-benar dipikir dengan matang. Aku yang sedari tadi sibuk membenarkan printer dengan tangan yang juga dipenuhi tinta. Adheelah mengajakku naik ke atas loteng perpustakaan. Tapi aku dan Layla menolak dan bersikeras untuk loncat ke luar jendela dan membawa printer ke genteng agar mendapat cahaya bulan dan bisa membantuku membenarkan printer. Sedangkan Adheelah, aku menyuruhnya pergi ke loteng perpustakaan bersama tiga temanku lainnya dengan membawa laptop untuk alat penerang. Ya, semua sudah stand by di tempat masing-masing. Tanpa berpikir panjang, aku duduk di genteng perpustakaan bersama Layla dengan santainya. Untung tak dapat diraih, dan rugi tak dapat ditolak. Efek hujan tadi sore membuat genteng licin dan samasekali tidak bersahabat denganku. “BRAAAAKKKKKKKKKKKKKKK............!” Aku terjatuh. Menerobos pilahan genteng dan menembus tepat di dalam ruang kelas. Semua terasa seperti mimpi. Kejadian ini sungguh sangat cepat. Tak ada satu pun yang aku ingat kecuali ‘malu’. Aku sedikit shock melihat keadaan genteng yang bolong. Dengan kondisi yang tak bisa dibayangkan, aku merambat mencari kerudungku yang terlepas berikut kacamataku. Entah dengan energi apa, setelah jatuh aku langsung pergi dari TKP dan mencari sandal ‘seadanya’ di depan kamar Bagian Kebersihan. Samapi di lorong kamar mandi, aku tidak kuat dan jatuh. Dan yang mengherankan, aku tak menemukan batang hidung Layla yang duduk bersamaku di genteng tadi. Aku benar-benar tidak kuat, dan ternyata Huda –salah seorang pengikut Adheelah di loteng perpustakaan, berlari melewati lorong kamar mandi. Aku memanggilnya dengan nafas tersengal. Akhirnya, aku dibawa ke kamarnya dan ternyata disana sudah ada Layla yang duduk manis. Aku agak terheran karena dia bisa menerobos pilar-pilar bangunan saat kami berdua jatuh. Katanya, entah dari kekuatan apa, ia bergelantungan di pilar-pilar kelas sampai akhirnya bisa memanjat ke atas dan selamat naik ke jendela perpustakaan. Keesokan harinya, punggungngku benar-benar sakit dan berniat meminta izin tidak masuk kelas. Karena takut ketahuan, aku bilang ke ustadzah KMI kalau aku jatuh dari kamar mandi –padahal jatuh dari genteng. Dikarenakan alasan yang sepele, aku tidak diizinkan untuk absen dari kelas. Dengan keadaan punggung yang semakin sakit, aku pergi ke BKSM untuk mendapat perawatan intensif. Sekali lagi, aku bohong dan belum mengaku kalau aku jatuh dari genteng – takut. Pada sore harinya, mobil yang membawaku ke rumah sakit datang, dan akupun melewati Aula Kairo, tempat dimana Lomba Drama Kontes dilangsungkan. Yang kulihat saat itu adalah tawa kebahagiaan mereka yang tak lama setelah itu ternyata departemenku meraih juara pertama. Dan aku? Aku harus terkapar sendiri di rumah sakit hingga berminggu-minggu. Tak apalah. Mungkin ini adalah salah satu pengamalan dari mahfudzot, wa ma-l-ladzatu illa ba’da-t-ta’bi wa-s-suquuti.

The Delay of Pray By : Huda Shidqie

Aku pernah bermimpi menjadi reporter profesional dan duduk dalam balutan seragam hitam dengan ID tergantung di leherku. Menyeruak di tengah kerumunan dan bersikeras meliput berita untuk segera dipublikasikan. Bahkan mimpi ini tidak hanya terlukis pada saat itu saja, namun hingga kini, aku masih menaruh harapan besar padanya. Dan kupikir, untuk merealisasikan mimpi awalku, aku harus bisa berbicara dengan lugas, tegas, tanpa ragu. Aku berpikir mungkin aku dapat merealisasikannya dengan mengikuti seleksi MC untuk acara kuliah umum per-babak pada Pekan Perkenalan Khutbatu-l-Arsy nanti. Mimpi ini benar-benar kucamkan dalam hati. Hingga saat kelas tiga, aku memulai merintis mimpi ini. Aku mengikuti seleksi MC untuk Pekan Pekenalan Khuthbatu-l-Arsy. Aku benar-benar merasakan susah yang begitu besar melihat para dewan juri yang menyeleksi bukanlah dari orang-orang biasa. Aku mendapat nomor urut ketiga dalam penyeleksian. Dengan nafas tersengal, aku mulai membaca teks dan . . . aku terbata-bata. Betapa tidak? Aku tak pernah berpengalaman apa-apa dalam bidang ini. Walau mungkin bagai menjaring angin, aku tetap berharap namaku muncul di antara nama-nama pada pengumuman di samping kopda. Walhasil, setelah berlama-lama menunggu waktu pengumuman tiba, namaku samasekali tidak tercantum pada papan pengumuman itu. Naaslah sudah. Ya, biarlah. ‘Mungkin ini adalah awal dari segalanya’, bisikku untuk menghibur diri. Kegagalanku di kelas tiga tidak membuatku patah semangat untuk mengikuti seleksi selanjutnya di kelas empat. Pada acara yang sama, Pekan Perkenalan Khuthbatu-l-Arsy –merupakan acara sakral yang ada di pondok tiap tahunnya. Seperti tahun sebelumnya, aku mengambil nomor urut dan meminjam teks untuk sekedar latihan, ya agar kejadian ‘terbata-bata’ di tahun lalu tidak terulang kembali. Kali ini, aku sedikit lebih memiliki power untuk mengikuti seleksi ini. Sedikit lebih baik, aku dapat membaca teks dengan lancar. Untuk tak dapat diraih bahkan rugi tak dapat ditolak. Seperti tahun sebelumnya, aku mendapatkan takdir yang sama. Namaku tak berada di antara deretan ‘mereka’ yang masuk seleksi. Sedih? Pastinya. Tapi aku masih bersikeras mengikuti seleksi MC untuk acara pelantikan OPPM beberapa bulan mendatang. Saat pergantian pengurus mendekat, kali ini aku benar-benar berniat untuk mengikuti seleksi degan sepenuh hati, sepenuh niat, dan sepenuh jiwa. Karena mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk menjadi seorang MC pada acara penting di pondok. Aku memilih bahasa Inggris untuk seleksi. Bismillah. Beberapa kali basmalah kuucapkan. Dan akhirnya, nomor urutku pun tiba. Aku niatkan semua dalam diri. “Bismillah Ya Allah... Ini tahun terakhirku......” Aku membaca teks MC lebih hati-hati lagi mengingat teks ini adalah Bahasa Inggris yang memerlukan intonasi dan pronouncation yang benar. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan Bahasa Indonesia. Mungkin aku terlalu hati-hati sehingga bacaan teksku tidak terdengar jelas. Begitu yang kurasakan. Namun setelah seleksi selesai, aku masih menaruh harapan besar agar aku bisa menjadi MC di acara pelantikan pengurus OPPM nanti. Pengumuman tidak dipampang dengan cepat seperti acara-acara sebelumnya. Semua ini semakin membuatku cemas dan... entahlah, tiga hari kemudian hasil dari penyeleksian MC pun diumumkan... Dan ternyata.... Ya seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Namaku tetap absen dari daftar ‘mereka’ yang lulus seleksi. Namaku tidak ada. Samasekali. Padahal, namaku terbilang hanya empat huruf dan sangat terlihat di papan pengumuman. Ya sebenarnya, aku tak mencari langsung di papan itu. Aku hanya memandang dari jauh, apakah ada nama ‘yang hanya bermuatan empat huruf’ di papan itu. Ya ternyata benar. Nama singkat itu tak tertera dan bayangnyapun tak ada. Aku sempat frustasi sebentar. Bayangkan saja, ikut seleksi berkali-kali tanpa satu babakpun yang aku masukki. Untuk merintis karir selanjutnya di bidang MC, aku samasekali tak punya tujuan hidup. Aku pikir, “Mana ada kelas lima yang ikut seleksi MC?”, itu buah pikiranku saat kelas lima. Di kelas enam, aku kembali menemukan seleksi yang sama. Yakni seleksi MC acara Pekan Olahraga Darussalam. Aku mengikutinya bersama beberapa orang temanku. Berbekal pengalaman-pengalamanku dulu, aku pun ikut seleksi. Dan hasilnya SAMA. Aku tetap tidak masuk seleksi dan naas untuk beberapa kalinya. Ya, satu kesempatan lagi sebelum aku lulus dari pondok ini. untuk terakhir kalinya dan ini yang paling akhir. Aku mengikuti seleksi MC acara inti Pekan Perkenalan Khutbatu-l-Arsy. Tapi ini lebih sakral. Di tahun-tahun sebelumnya, aku hanya mengikuti seleksi MC untuk acara kuliah umum Pekan Perkenalan Khutbatu-l-Arsy. Tapi kini, aku ingin mereview dan mengubah pengalaman pahitku dulu dengan mengikuti seleksi MC pada inti dari acara besarnya, yakni Pekan Perkenalan Khutbatu-l-Arsy. Berbagai seleksi aku lewati. Dan seleksi awal, aku masuk. Babak satu, dua, tiga, dan... Alhamdulillah, aku bisa masuk ke babak keempat. Dan pada acara seleksi akhir, hanya ada aku dan lima orang temanku lainnya. Pengumuman tak lagi dipampang pada papan pengumuman melainkan secara langsung di depan muka-muka kami –para finalis MC. Dan . . . Saat itu, aku samasekali tak berharap banyak seperti harapan-harapan yang pernah kugantungkan pada seleksi masa lawasku dulu. Berharap tidak, apalagi menggantungkan asa. Tapi ternyata, Allah berkata lain. Ini benar-benar perealisasian dari rumus terkabulnya do’a yang dirancang Allah begitu indahnya. Tak peduli berapa lama delay nya do’a tersebut, tapi itu benar adanya. Aku bersyukur tiada tara saat namaku terpanggil dan lulus sebagai MC acara sakral tersebut. Aku tak akan pernah melupakan kejadian ini. Bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambaNya, dan Allah tahu kapan do’a itu akan dikabulkan. “Bermimpilah...maka Allah akan memeluk mimpi-mimpimu........” Dream High, Fight Hard, Ikhlas Fully...

Introspeksi Diri By. Tatik Sujiyati

Kalau boleh jujur, mungkin aku dibilnag mampu. Biasa saja memang. Tapi kalau dibilang tidak mampu, kayaknya sih tidak juga. Pertama kali kau masuk pondok, aku kaget dengan segala kebiasaan yang ada di pondok ini. bagaimana tidak? Kalau dipikir, melihat orang yang jajan banyak dan tempat jajan yang banyak tersedia sudah barang tentu akan jajan terus. Tapi kalau aku mengingat orang tuaku, keinginan jajan itu langsung sirna. Karena jerih payah merekan untuk mengumpulkan uang dan biaya yang harus dikeluarkan demi sekolahku. Apalagi untukku yang selalu minta uang ini. Awalnya aku tak tahu apa itu Gontor. Aku kira hanya sekolah pondok biasa yang memakai dua bahasa. Ternyata setelah aku masuk di sini baru aku mengerti dan kaget akan kehebatan Gontor. Dulu waktu aku di kelas satu intensif, ingin rasanya aku pulang karena au akut tak dapat menyelesaikan sekolahku dengan baik. Tetapi karena ingatanku pada orang tua yang bercucuran keringat dalam melayani para pembeli aku tidak teg auntuk meminta pulang. Kalau aku minta pulang, sama saja seperti aku anak yang tak bersyukur karena banyak orang yang ingin ke sini tapi tidak diterima. Sedangkan aku hanya anak pedagang bakso dan mie ayam bisa sekolah di sini. Itulah yang selalu menjadi motivasiku sampai akhirnya aku bertahan. Bulan demi bulan berlalu sampailah aku di tiga intensif. Tahun inilah aku menjadi da’iah cilik. Jummi’atu-l-Khotibah (JMK). Dari situlah muncul keinginan untuk menjadi bagian Pengajaran. Soalnya kalau dilihat itu enak dan lucu. Pokoknya aku ingin dan harus menjadi bagian Pengajaran. Tak hanya keinginan, ternyata di kelas lima. Tepatnya ketika pegukuhan OPPM aku diberi amanah untuk menjadi bagian Pengajaran. Alhamdulillah. Setelah beberapa minggu akau jalani ternyata tidak seperti yang aku pikirkan. Bukan hal yang enak dan lucu yang aku temukan. Mulai dari dimarahi oleh pembimbing karena pekerjaan yang kurang memuaskan, bertengakr dengan teman sendiri karena pekerjaan, badan capek karena harus keliling mengontrol kerapian masjid setiap sholat, pelajaran sore, dan latihan pidato. Semua itu sudah kulewati. Walaupun dengan kenangan keliling sholat Subuh sendirian arena yang lain terlalu lelah dan masih dalam dekapan selimutnya. Kadang sebal juga dengan teman seperjuanganku, tapi aku senang karena aku menikmati pekerjaanku. Terutama melihat anggota Darussalam yang mengantuk ketika menunggu sholat Subuh. Aku bangga menjadi bagian engajaran. Mungkin tanpa kami mereka bisa-bisa sholat tanpa wudhu. Aku juga memiliki kenangan sebagai ketua konsulat Medan. Dan ada Drama Arena (DA) yang tak akan aku lupakan. Sekarang tak terasa sudah menjadi kelas enam yang akan meninggalkan pondok. Rentetan acara semua sudah terlewatkan. Mulai dari OPPM, PG, karantina, rihlah, bahkan tinta pun tak cukup untuk menulisnya. Apalagi ketika aku menjadi panitia LPG/Tpi antar pondok alumni. Pelajaran berharga dan sangat berarti, yaitu aku harus mengintrospeksi diri menjasi mudabbiroh di rayon baru dengan anggota yang tak tahu apaapa tentang pondok ini. prilaku mereka di tahun-tahun mendatang tergantung bagaimana kita memberi penjelasan dan contoh yang baik. Di sini aku mendapat pelajaran tentang disiplin, belajar untuk bersabar, ikhlas, walaupun susah juga untuk belajar hidup sederhana. Terimakasih Daussalam.....

Aku Anggap Itu Hikmah By. Caryn Arinda

Cerita ini berwal ketika wabah tifus melanda pondok tercita ini. dan aku adalah salah seorang dari ribuan santri yang terkena wabah ini. ketika itu aku duduk di bangku kelas lima. Disaat semua temanku sibuk dengan urusannya sebagai pengurus konsulat, rayon, Drama Arena dan apalagi saat itu pondok sedang mempunyai hajat besar, yakni Pekan Perkenlana Khutbatu-l-Arsy (PKA). Tepat lima hari sebelum PKA, demam tinggi menyerang tubuhku. Memang sudah menjadi kebiasaan jika badanku demam, aku akan mimisan. Jadi ketika itu aku mimisan parah. Dan yang lebih parahnya, ketika mimisan tak seorang teman pun yang berada di kamar juga semua adik kelasku sedang sibuk dengan kegiatannya. Akhirnya aku memutuskan mengambil tissue pack untuk menghapus darah yang mengalir dari hidungku. Hingga tak bisa kurasa lagi pusingnya, sakitnya, karena semua tiba-tiba gelap. Ketika aku terbangun, ternyata aku tidak lagi berada di kamarku, melainkan di Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM). Di sekelilingku kudapati beberapa orang adik kelasku yang menderita tifus sepertiku. Bedanya, mereka sedang bersama orang tua mereka dan aku hanya sendiri. Hingga aku bingung untuk meminta bantuan kepada siapa saat perutku sakit, menggigil, dan saat tak ada air untuk minum obat karena saat itu persediaan air mineral di BKSM sedang habis. Tepat di hari berlangsungnya PKA, aku dijenguk oleh wali kelasku ketika kelas satu dulu. Beliau pidah ke Gontor Putri 5 setelah mendapat gelar sarjana. Kedatangan beliau ke Gontor Putri 1 untuk menjadi perwakilan dari Gontor Putri 5 dalam mrnghadiri PKA disini –Gontor Putri 1. Entah darimana beliau mendapat kabar bahwa aku sakit, yang jelas kedatanga beliau saat itu sangat membantuku. Melalui beliau, aku menhubungi kedua orangtuaku dan mengabarkan kondisiku saat ini. Alhamdulillah, ibuku mengatakan bahwa beliau akan datag dua hari lagi. Dengan penuh kesabaran, aku menanti kedatangan orangtuaku. Satu persatu santriwati yang dirawat di BKSM pergi meninggalkan tempat untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif di rumah sakit. Sedih sebenarnya, tetapi aku harus tetap bersabar dan bertahan. Aku masih ingat sekali pada hari selasa, pukul sepuluh pagi. Akhirnya ibuku datang seorang diri karena ayahku berada di Blitar saat itu. Ternyata ibu sedang tidak enak badan juga. Tetapi beliau memaksakan diri untuk menemuiku karena kekhawatirannya. Setiba di BKSM, ibu segera mengemasi barang-barangku dan membawaku ke Puskesmas Mantingan. Pertamanya aku heran, kenaa harus ke Puskesmas? Kenapa tidak ke rumah sakit saja seperti yang lain? Ibu pun menjawab, “Tadi mama udah mampir ke Puskesmas dan ada rawat inapnya kok! Seenggaknya kamu bisa dirawat di sana dulu. Nggak usah jauh-jauh ke Sragen, soalnya mama juga lagi nggak enak badan, takutnya nggak kuat waktu naik bis”. Setelah mendengarkan penjelasan ibu, akhirnya aku menuurut saja. Ibuku memang orang yang tidak tegaan, beliau pun membawa adik kelasku yang juga sakit di BKSM bersamaku karena kami adalah pasien terakhir. Saat itu i sangat lemas. Bahkan untuk berjalanpun ia harus dibopong. Ternyata masih ada satu orang lagi tersisa di kamar lain. Sedihnya, dia sedang berada di tengah jalan, terduduk di atas lantai dengan baju yang cukup kotor. Ibuku sempat bertanya, “Namanya siapa, dik?” Dan ia pun menjawab dengan sangat lirih, “Rayhan...” Kemudian ibuku bertanya lagi, “Mamanya mau kesini apa nggak?” Ia menjawab, “Nggak tau...tapi kata ustadzah mau dibawa ke Sragen...” Dan ibuku berpesan, “Ya udah, yang sabar ya, tidurnya di atas kasur, jangan di bawah! Nanti tambah sakit!” Setelah mengakhiri pesannya, ibu mengajaknya untuk bangun dan naik ke atas tempat tidur. Tetapi ia malah menangis kencang dan tetap ingin berada di atas lantai. Terlihat dari wajagh ibu bahwa beliau ingin membantu anak itu. Tetapi di sisi lain, aku dan Hanum telah menanti dengan lemasnya. Akhirnya aku dan Hanum dibawa ke Puskesmas dengan menggunakan ojek. Sesampainya disana, aku segera diinfus sebagai pertolongan ertama dan langsung menjalai tes darah. Dokter berkata kalau aku harus dirawat inap. Tanpa pikir panjang, ibuku langsung mengiyakan saran Dokter tersebut. Tak lama setelah iu, aku dan Hanum dibawa ke sebuah ruangan sederhana. Didalamnya tersedia dua set tempat tidur dan kamar mandi tanpa TV dan sofa seperti di ruang VIP. Biaya yang ditarik sangat murah. Hanay Rp 10.000/hari untuk setiap kamar. Maklum, itu kan hanya Puskesmas daerah yang tugasnya meringankan beba para penduduk sekitarnya. Tapi aku kagum dengan Puskesmas ini, pegawainya ramah, rapi, teptanya bersih walau sangat sederhana. Dan satu yang paling penting yaitu perawatannya bagus. Baru dua hari saja aku dirawat, badanku lebih terasa segar. Begitupula dengan Hanum. Walau dia sangat susah sekali untuk disuntik, namun kondisinya sudah membaik. Suatu saat, ketika aku sedang menyantap makan siang, ibuku mengatakan bahwa di sebelah kamar yang aku tempati ini, sedang dirawat pula salah satu pekerja di Koperasi Dapur (Kopda). Yang kudengar-dengar, namanya Dika. Aku sempat kaget dan idak percaya. Tapi setelah aku selidiki sekaligus mengintipnya dari pintu jendela yang menghubungkan kamarku dengan kamar sebelah, aku baru percaya bahwa yang ibu katakan adalah benar. Ternyata buan santriwati saja yang terserang tifus, para pekerjanya juga ikut erserang penyakit ini. siapa yang menyangka, kalau malam itu aku mendapat kejuan besar. Tept setelah makan malam, ada tamu yang ingin menjengukku. Karena ditutup dengan tirai, aku tidak bisa melihat langsung siapa yang datang. Yang jelas, sang tamu berkata, “Assalamu’alaikum Bu... Mau besuk. Katanya ada Mbak Satri yang sakit ya?” Ibuku menjawab, “o iya, masuk saja Pak!”. Aku yang mendengar dari balik tirai bertanya-tanya siapa yang sebanarnya datang. “Pakai kerudungnya dik, ayo Mbak Hanum juga, itu ada bapak-bapak yang mau menjenguk!”, kata ibu. Aku dan Hanum semakin penasaran. Kemudian ibuku membuka tirai. Betapa terkejutnya kami berdua ketika kami tahu bahwasanya yang datang ialah bapak-bapak dan mas-mas yang bekerja di Kopda sebagai penanak nasi. Aku sempat bingung, malu, tak percaya ketika aku sadar bahwa orang-oang yang ada di hadapanku adalah orang-orang yang setip harinya menyediakan nasi untuk kita makan di pondok. Ternyata mereka usai menjenguk Dika yang sedang sakit di kamar sebelah. Sekalian menjenguk, katanya. Setelah berbincang lama dengan ibu dan aahku, akhirnya mereka pamit pulang. Sebelum tidur, aku sempat tertawa sendiri mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Keesokan harinya, hasil tes darahku sudah keluar. Dalam hasil tes tersebut menyatakan bahwa aku hanya mengidap gejala tifus. Alhamdulilah, ini cukup membahagiakan. Apalagi setelah itu, aku mendapat kejutan spesial lain dengan hadirnya mbak-mbak yang menjadi penjaga cafe dan pembantu di rumah para madamat. Untuk kali ini merek tak hanya sekedar datang menjengukku. Mereka membawa masakan untukku dan Hanum juga memijat badanku. Sebenarnya aku sungkan, tapi apa boleh buat. Mereka tak mau melepaskan tangannya dari badanku. Semenjak kedatangan bapak-bapak pekerja di kopda itu, setiap hariny apasti ada saja yang datang menjengukku. Walaupun mungkin itu smeua karena mereka usai menjenguk tetangga samping kamarku. Tak apalah. Kedatangan mereka cukup berarti. Setelah genap smeinggu aku di puskesmas, perawat mengabarkan bahwa hari ini akan ada inspeksi oleh kepala puskesmas Mantingan untuk mengontrol keadaan pasiennya. Tepat jam delapan pagi tiba giliranku utnuk diperiksa oleh dokter tersebut. Dokternya sangat ramah, baik, walaupun sudah sepuh tapi beliau masih enerjik. Di tengah perbincangan antara ibu dan dokter itu, aku bertanya, “Dokter... besok sudah boleh pulang atau belum?” “Jangan besok. Lusa saja, ya!” jawab dokter itu. “Tapi besok ada KMD dan wajib diikuti. Kalau nggak ikut, nanti bisa-bisa ikut yang tahun depan.” Kemudian dokter itu menjawab sambil tertawa, “Oh... kamu anak Gontor mau ikut KMD? Saya ini nanti tutor KMD.” ‘Ya Allah... ternyata di puskesmas ini membuatku bertemu dengan banyak orang yang belum kau kenal sebelumnya’ batinku “Habis typhus itu harus istirahat,” nasehat sang dokter. Ternyata dokter itu adalah dokter Pudjo Sardjono. Beliau ketua puskesmas Mantingan sekaligus menjabat sebagai ketua LEMDIKACAB Ngawi. Aku bersyukur sekali. Karena di saat sakit seperti ini aku mendapat pelajaran. Aku bisa bertemu dongan dokter Pudjo dan dapat berbincang-bincang langsung dengan pekerja pondok yang selama iini kita pandang sebelah mata. Dalam keadaan mereka yang susah, mereka masih sempat untuk memikirkan orang lain yang sama sekali tidak mereka kenal. Mereka sangat peduli dengan sekitarnya. Kekurangan dalam hal materi tidak menjadi alasan untuk memutus tali persaudaraan. Seandainya saja semua orang di dunia seperti mereka, pasti akan terasa indah. Maka dari itu, jangan sesekali kita meremehkan orang lain dan menganggap diri kita paling sempurna. Karena suatu saat kita akan membutuhkan mereka dan belum tentu kita dapat lebih baik dari mereka di hadapan Allah. Hari Minggu aku pulang ke pondok dengan kesedihan yang cukup dalam meninggalkan ruang sederhana dimana aku mendapat pelajaran hidup dan kebahagiaan karena aku sudah sembuh. Sayang, ibuku sedang bersedih mendengar kabar bahwa santriwati yang bernama Rayhan yang dulu kita jumpai di BKSM telah meninggal dunia. Karena perawatan yang mungkin terlambat. Ibuku sangat menyesal karena mengapa tidak membawanya juga ke pukesmas. Tetapi ayahku menghibur. Beliau berkata, “Mungkin memang sudah takdirnya. Nasib orang siapa yang tahu?” Ibuku hanya tersenyum sambil berkata, “Makanya Ryn, kalau punya niat baik jangan ditunda sebelum akhirnya menyesal. Nanti kalau ada temanmu atau siapa saja ynag sakit segera dibantu siapapun dia. Biasanya orang yang kesakitan itu diam saja, tapi sebenarnya dia nahan. Jadi di pondok itu harus tolong-menolong.” Aku menganggukkan kepala sambil terenyuh atas nasehat yang kudengar dan kejadian-kejadian yang membuatku paham dengan satu pelajaran baru dalam hidupku.

Siapkanlah Semua

Ini salah satu kisah teman sekelompokku, ketika Amaliyatu-t tadris atau praktek mengajar. Dan inilah awal perjuangan kami di karantina. Hari itu kami mendapat giliran untuk praktek mengajar pada jam pertama dan jam ketiga. Dia, tmanku yang mendapat giliran pada jam ketiga orang yang periang, lucu tapi agak aneh. Jarum jam dindingn kami telah mengarah pada pukul 06.50 WIB, kami semua sudah siap dengan kertas HVS, buku kritikan, papan tulis karena kami mendapat mata pelajaran imla’ dalam jam pertama, tak lupa pulpen dan tablecease yang melingkar di leher kami untuk memudahkan dalam menulis. Lima menit sebelum bel dipukul, kami mendapat masalah dari kapur yang tak tersedia di dalam kelas, yang memaksaku untuk mengambil satu kardus kecil kapur yang berisi penuh. Penyangga papan tulis pun ikut menghilang dan kami menggantinya dengan sebatang pulpen. Tak terbayang apa jadinya jika papan tulis itu jatuh di tengah pelajaran! Pagi tu pagi yang merepotkan sekaligus menyebalkan. Namun masalah yang paling besar ialah ketika temanku belum tiba di ruang belajar dua menit sebelum bel dipukul. Kita pun saling bertanya akan keberadaanya. Persiapan telah siap, jam dinding telah kami pasang diatas dinding. Satu menit berlalu namun dia pun belm menampakkan dirinya. Ditengah penantian kami yang tak pasti itu terlihat dari kejauhan dua sosok wanita yang berseragam bira dan magenta, magenta? Sejak kapan kelas ea=nam boleh pakai sepeda motor? Akhirnya dia datang dengan raut wajah yang terkesan takut dan hampir menangis. Amaliyatu-t tadris pun dilaksanakan dengan lancar tanpa jatuhnya papan tulis seperti apa yang kita tkutkan. Syukurlah...dan ini yang kita harapkan. Istirahat tiba, pertanyaan yang memberondang ditujukan pada dirinya. Denga terpaksa dan agak malu dia pun mencetitakan fenomena yang telah dialaminya. Berawal dari persipan mengajar yang belum diambil dari fotocoppy dan harus diserahkan pada guru pembimbing sebelum Amaliyah serta hilangnya buku mahfudzot yang akan dia jadikan subject dalam Amaliatu-t-tadris, meminjamlah satu-satunya alternatif yang harus ia ambil, usai meminjam buku ia pulang ke kamar. Dan dia mendapati kamarnya kosong tanpa seorangpun. Tanpa pikir panjang spontan dia kenakan baju magentanya yang akan dia kenakan dalam Amaliyah nanti. Berlari itu keputusan yang jitu namun semua itu sia-sia karena dia tak tau gedung yang kami gunakan untuk Amliyatu-t-tadris pada jam pertama. Ia terus berlari hingga sampai di gedung Turki namun semua kelompok sudah siap di dalam kelas sampai akhirnya ia terus berlari dan pertemuanya denngan Ustadzah prngasuhan layaknya secercah cahaya dalam kegelapan. Ia bertanya akan lokasi kami untuk Amaliah, ternyata erada di gedung Khodijah yang cukup jauh jika ditempuh jika berjalan kaki, terlambat pun tak bisa dielakkan. Lari. Yah ..lari adalah solusi pertama, dengan sisa kemampuannya ia berlari menuju gedung Khodijah. Entah karena rasa iba atau apapun itu sang Ustadzah pengasuhan itu segera memberinya instrupsi untuk naik dibelakngnya. Dengan secepat buroq iasampai di gedung Khodijah. Ia berargumentasi tentang apa yag ia rasakan katanya seperti Miss Universe yang lagi berjalan diantara para pengagumnya berhubung saat dia melintasi jalanan menuju gedungKhodijah para santriwati sedang berlalu lalang menuju kelas masing-masing. Yang lebih mengharukan ketika ai mengerjakan praktek mengajar tanpa persiapan yang matang, tanpa sarapan, tanpa mandi. Tapi aku salut karena ia bisa melewati Amaliyatu-t-tadris dengan baik dan tergolong bagus meski dengan pendahuluan yang begitu tragis.

Saat Ia Pergi... By : Naylu Zulfa

Waktu enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bertahan hidup di tengah kerasnya ombak kehidupan dikalangan santri Gontor. Semua benar-benar menguji mental saat aku kelas satu, aku benar-benar tak tau apapun. Mungkin bisa dibilang aku polos. Yah memang karena fenomena kelas satu yang tak akan terlupakan. Beranjak ke kelas dua, aku menjalani hari-hari dengan lembaran baru yang unik,dan tentu sangat berbeda dengan atmosfer kehidupanku saat kelas satu dulu. Dan kelas tiga, aku mulai jatuh dan entah keterpurukan menghantuiku. Tidak betah adalah sebuah kelaziman pada kamus hidupku pada saat itu. Namun, karena kekuatan do’a dan berbagai motivasi yang aku dapatkan, aku bisa menjalani dan melewati masa-masa rumit. Hingga, aku dapat menginjak jenjang yang lebih tinggi, yakni kelas empat, bahkan pada masa itu aku tak kenal lagi kata keterpurukan, kecemasan bahkan tidak betah sekalipun. Dari situ aku mendapat pengalaman baru tentang dunia pertemanan yang bisa dibilang sakral pada masa itu, kenakalan dan rasa ingin bebas mungkin yang menjadi tumpuan kelas empat untuk hidup bahagia tanpa berpikir panjang. Dan saat kelas lima, ini merupakan tahun diman aku dituntut untuk menjadi ‘AKU’ yang lebih dewasa, terlebih saat aku dihadapkan pada satu pengalaman penting. Saat itu pondok dilanda virus tifus yang hampir menjangkit tigaperempat dari jumlah warga pondok seutuhnya dan sebagai kelas lima, aku berhadapan dengan dua hal terpenting. Yakni, antara teman seperjuanganku yang terjangkit tifus dan juga anggota rayonku yang ikut terserang tifus. Alhamdulilah, Allah masih memberiku kesehatan sehingga aku bisa mengurus keduanya tanpa hambatan apapun. Suatu saat, aku diamanahkan untuk menjaga tiga pasien di salah satu rumah sakit wilayah Sragen. Ketiganya mengidap typus dan demam berdarah, perasaan iba selalu menyelimutiku, tapi apa daya? Aku hanya bisa berdoa agar Allah memberi kesembuhan untuk mereka. Salah satu diantara mereka ada yang orang tuanya baru saja pulang haji, kedua orang tuanya langsung datang dengan keadaan anaknya yang sangat kritis, bahkan untuk sekedar bicara dan mendengarpun ia tak kuasa, mungkin Allah mempunyai skenario lain untuk anak ini, banyak kejadian menyedihkan yang membuatku semakin berempati kepadanya. Dia melepas infus, berusaha berjalan, walau sangat terlihat nafasnya sudah tersengal. Ia pun tak kunjung mendengar dan berbicara, tak ada yang bisa dilakukan orang tuanya kecuali menegukkan tetesan air zam-zam dimulutnya. “Kullu Nafsin Dzaaiqotu-l-maut...” Ya Allah.. sesungguhnya kami milikmu dan kepadaMulah kami kembali... Bulir air mata membasahi pelupuk mata dan hatiku. Tepat pada jam 06.45, ia menghembuskan nafas terakhinya, mengguratkan senyum terakhir dan lambaian hangatnya kepada kami. Ya.. benar-benar untuk yang terakhir kalinya. Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan untuk memetik buah hikmah dari semua kejadian ini semua akan kum jadikan bekal untuk akhwati perjalanku melewati tapak tilasku selanjutnya. Ramadhan, yudisium, karantina kelas 6, ujian akhir dan hingga kini aku hampir menyelesaikan rakaat terakhirku dalam shalat Thalabul Ilmiku ini...

Masuk Lagi ke Lubang By. Nur Liyana

Dikala harapan membumbung tinggi ke awan. Tak pula kuhentikan langkahku. Aku hanyalah si kecil yang tak dianggap, diremehkan. Seakan kehidupanku hilang. Hanay karena beberapa kesalahan fatal yang tak kusengaja lalu semua dapat menganggapku jelek. Suasana berjalan seperti apa adanya. Diminggu ini pondok disibukkan dengan acara Duta Gudep. Sekarang aku duduk di kelas empat. Pramuka adalah hal yang kugemari, kucintai, dan itu adalah kenikmatan bagiku. Dalam pramuka semua angkatan lebur menjaidi satu tanpa perbedaan yang dapat ditemui seperti sehari-hari, semua sama. Adik dan kakak kelas bagaikan saudara yang saling menyayangi. Hari ini adalah Selasa pgi. Seperti biasa, olahraga menjadi awal dari hari kami. Lelah setelah berolahraga aku dan beberapa temanku berbincang. “Hari ini ANKULAT membagikan surat Duta Gudep, lho!” begitu tutur salah seorang teman. “Mana mungkin aku dapat! Aku kan gholat.” “Jangan salah! Positive thinking aja!” Entah mengapa Duta Gudep bagiku bukanlah menjadi suatu obsesi seperti teman-temanku yang lain inginkan. Aku harus sadar diri. Dengan blacklist-ku yang selalu saja membuat mimpiku sirna, aku tak lagi ingin berharap. Saat aku hendak memasuki kamar, sebuah sepeda butut berwarna biru berhenti di depan rayon. Seorang ANKULAT turun dari sepeda tersebut. Ia memanggilku sembari memberikan beberapa lembar surat. Ada namaku! Aku tak dapat berkata apapun. Allah ternyata masih memberiku kesempatan dengan harapan ini. Waktu seminggu kuhabiskan untuk konsentrasi dengan segala pelajaran tentang kepramukaan berikut prakteknya yang meliputi morse dan semaphore. Lusa adalah hari penentuan. Aku harus mematangkan otakku. Pagi berganti senja, kulihat secarik kertas melayang ke hadapanku. Panggilan dari bagian bahasa pusat. Air mata tak kuasa kubendung. Haruskah aku gagal lagi? Dua jam aku harus berhadapan dengan buku besar berwarna hitam. Buku kronologi. Dengan begitu sudah barang tentu eksekusi yang pantas untukku adalah memakai kerudung pelanggaran. Hati ini hancur berkeping-keping. Tak berani lagi kulangkahkan kakiku. Mslu. Tepat hari H pun aku tak berani untuk menegakkan wajah. Intinya adalah aku gagal. Pasti gagal. Setelah perjuangan yang kulakukan ini aku mendapat pelajaran yang begitu berharga. Bahwasanya segala apapun yang kita lakukan pasti ada akibatnya.

Kehilangan.. By. Zarra Ardea Mutiara

Awal kehilangan itu bernama Nawa Marjani. Entahlah apa alasanya, tapi 488 menjadi 487 dan itu merubah filosofi angka kami. Berturut-turut kzmi kehilangan. Olivia Nevanda dan Bunga Mayang mengejutkan, menggetarkan, ditengah keadaan kita yang tertindas dan penuh cobaan. Pun begitu, kehilangan seakan mengejek kami. Ia seret Ima dan Riri kelingkaranya. Black hole kehilangan, mubgkin bisa kita sebut begitu, yang membawa mereka pergi dan pulang. Kehilangan menyapa lagi. Kali ini konsulat Lumajang, Ade, Ari, Mitha, Eka, Yanda...sahabat, teman, kawan...raib ditelan kehilangan. Kehilangan mengajarkan kita untuk kuat. Kehilangan mendidik kita untuk tegar. Kehilangan adalah cambukan bagi kita, yang menyepelekan kebersamaan. Kehilangan tidak salah, ia adalah pelajaran hidup yang mengetahui kapan harus hadir di tengah kita dan merenggut kebersamaan. Kehilangan memberi peringatan, bahwasanya apa yang kita miliki itu mahal semahal hidup ini. Dan percayalah kawan...kehilangan masih ada di samping kita, disetiap helaan nafas. Karena ia menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kebersamaan ketika kita berada di tengahnya.hanya Allah yang bisa menahan laju kencang kehilangan dan control terhadap diri.

Ilmu Perikanan By. Fish Gang

Sebagai kelas enam yang sudah tidak dibebani pelajaran mengahruskan kami mengisi setidaknya sesuatu yang bermanfaat bagi hari kami. Salah satu tempat yang paling digemari oleh santriwati untuk pelampiasan rasa sepi adalah out bound. Pagi itu kami menghabiskan waktu selama dua jam hanya melihat ikan-ikan yang saling berebut oksigen di kolam. Jenuh ternyata menggerogoti. Kami yang sudah tak tahu lagi jalan lain untuk menghibur diri, langsung tersorot pada sosok guru gagah sang empunya ikan. Ustadz Fadhli. Beliau dengan motornya yang sudah batuk-batuk membawa jalak untuk mengambil ikan. Berawal dari menyaksikan kemudian ikut serta dalam prosesi pengambilan ikan. Ternyata mengambil ikan itu lumayan susah. Kaos kami basah karena harus masuk ke dalam kolam. Terlebih adegan masak ikan dengan cara panggang, goreng, dan lain-lain. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, mungkin juga seagai bekal dimasa nanti, adalah membersihkan badan ikan. Kalau mengingat badan kami sendiri yang kecut, kami belum membersihkan badan sendiri. Dua jam terlewati dan seratus empat puluh ikan pun telah kami mandikan dan bersihkan. Antara harap-harap cemas, apakah kami akan mendapat ikan gratis atas semua kepayahan ini? Mengingat motto pondok yaitu keikhlasan, rasa itu seketika menguap begitu saja. Tak lama ustadz datang dengan membawa alat pembakaran dan penggorengan. Ini pekerjaan tambahan. Kami kembali menggoreng dan membakar. Ya sudahlah, ini sebagai pelajaran berharga bagi kami kelak yang akan segera meninggalkan pondok. Ilmu memasak ikan dengan baik dan benar. Tanpa kami sadari, kaos bukan hanya basah oleh air kolam, tapi perpaduan antara bau badan, arang, dan amisnya ikan. Bisa dibayangkan? Sebagai karyawan tak ber-ID card dan berseragam, kami memulai karir pagi itu untuk teman-teman kelas lima dan enam, penghuni pondok kala itu. Tak terasa setengah hari kami habiskan waktu bersama ikan. Mengistirahatkan sejenak otot-otot kami yang lelah di bawah naungan pohon dengan angin yang bertiup semilir. Segala ilmu perikanan ilegal telah kami dapati dari ustadz gagah. Tak lupa beliau memberikan ikan gratis bagi kami. Ternyata mendapatkan pelajaran tak harus resmi di kelas, kan?

TIDAK HARUS MESIR By. Huda Shidqie

Cerita ini dimulai pada hari Selasa. Tepatnya 12 Januari 2010. Saat aku benar-benar terlena pada sebuah kata kunci “MIMPI” yang semakin hari semakin meradang bahkan sampai merongrong sumsum jiwaku. Saat belajar malam usai, sekitarku digemparkan dengan pemanggilan anak-anak peserta study tour ke Mesir. Aku pun menyeruak ke tengah kerumunan dan mencari tahu berita ini. Jantungku berdenyut hebat ketika aku tahu bahwa mereka adalah utusan pertama yang terpercaya dan disaring secara intensif melaiui musyawarah antar guru pengajar dan pihak yang menyelenggarakan. Sayangnya tak ada namaku di sela-sela pembicaraan mereka. Yang ada, aku hanya termangu hampa dengan angan-angan kosong yang sia. Hingga sholat Subuh datang lamunanku masih terisi penuh dengan bayang-bayang dengan study tour yang kini tengah menari tepat di depan mataku. Karena kuyakini, itu akan menjadi jalan pertama yang membawaku terbang jauh melangkahi ruas-ruas dunia, merangkul asa, dan menaklukan mimpi menjadi nyata. Tapi, ah! Itu hanya khayalan, nyatanya aku masih di sini tanpa apapun yang bisa mengimi-imingi. Hari Selasa, tepat setelah olah raga pagi adik kelas memanggilku tergesa dan bilang kalau ada ustadzah yang mencariku. “Untuk apa???” pikirku. Karena sejauh ini aku tidak merasa ada urusan apa-apa dengan ustadzah apalagi staf KMI yang mencariku. Aku langsung beranjak ke depan kamarku dan menemuinya. Tak ada nada tinggi ataupun omelan. “Hhhhh, aman!” gumamku. Tapi yang diherankan, aku malah mendatangi kantor KMI pagi itu juga. Tanpa bersepatu, ustadzah mengizinkanku. Sesampai di kantor KMI, aku dihadapkan oleh dua orang ustadz yang mengawali pembicaraan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupanku. Aku tetap tak paham. Tapi biarlah kujawab dengan apa adanya. Karena aku tak bisa berpikir apapun saat itu. Setelah beberapa pertanyaan selesai, ternyata ustadz yang mengujiku tadi bilang kalau aku dinobatkan menjadi salah satu peserta study tour yang menjanjikan itu. Senyum tidak, sedih pun tidak juga. Aku hanya menerawang tanpa ekspresi apapun. “Ya Allah benarkah ini?” Aku senang bukan kepalang. Walau tanpa ekspresi yang menyertai, aku bisa langsung menghirup hawa panas dari bnetangan Sahara dan panorama piramida. Naik pesawat ataupun menembus awan seperti yang diceritakan guru-guru atau orang sebelumku. Juga mumi Fir’aun yang terpajang sebagai bukti kebesaran Allah dan patung Spynx yang biasa kulihat di buku sejarah semenjak menduduki bangku SD. Mungkin sebentar lagi, aku akan menyaksikan semua itu dengan nyata dan dengan mata kepalaku sendiri. Karena asyiknya mengkhayal tentang apa yang terjadi nanti, aku mengabaikan perkataan ustadz yang kemudian mengulanginya hingga dua kali. Kutipannya begini, “Kamu harus bersyukur karena Allah telah memberiku kesempatan untuk bisa mengikuti progrm ini. Akan tetapi, untuk study tour ini pondok hanya membebanimu setengah pembayaran yakni 12 juta rupiah.” Deg! Jantungku yang tadinya berdegup ceria kini mematung dan diam terpana. “Dari mana aku mendapat uang sebanyak itu? Apakah sebuah mimpi harus dibayar dengan lembaran uang? Apakah selama ini aku salah dalam penafsiran teori mimpi?” pertanyaan itu terus saja membanjiri benakku. Sesaat kemudian aku disuruh menelepon orang tuaku untuk mendapat kepastian dan perijinan. “Assalamu’alaikum, Mi.....” ucapku saat mengawali pembicaraan. “Ummi aku mau ngomong sama ayah.” Ummi pun mengiyakan. Hatiku masih berdebar bagaimana cara menjelaskan semuanya pada ayah. “Ayah... aku dapat kesempatan study tour ke Mesir.” “Alhamdulillah.....” “Tapi yah, pondok memberikan keringanan pembayaran menjadi.....” “Menjadi berapa?” “Hmmm.... dua belas juta, yah,” suaraku mulai terdenagr lirih. Aku tak mendengar sepatah kata pun dari ayah. Hingga beberapa saat ayahku menjawab, “Hmmm.... ayah sekarang Cuma ada setengahnya..... bisa nggak?” ayah semakin lirih. “Ayah, aku pengen..... tapi....” “Nanti aja, ayah musyawarah dulu sama ummi. Mungkin jam dua siang baru bisa kasih kabar lagi. Nggak usah dipikirin dulu. Nanti hasilnya pasti yang terbaik. Sekarang kamu lagi ujian kan? Fokus belajar dulu.” “Ya yah, do’ain aku. Kirim salam buat ummi sama sekeluarga. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam...” Aku kembali ke kelas, tapi perasaaanku belum juga tenang. Antara meneruskan mimpi atau mengabaikan kasih sayang orang tua. Suasana kelas mendadak ramai. Semua memberiku semangat dan mensupportku. Mereka sibuk memberiku wejangan tentang oleh-oleh atau objek foto yang harus diburu di Mesir nanti. Tanpa mereka ketahui, aku menangis di dalam hati di tengah keramaian mereka dan perasaan terdalam serta kebingungan yang melanda. Apalagi, kini aku tengah ujian pelajaran sore. Sama sekali tak dapat memfokuskan belajar pada hari ini. Yang ada hanya perasaan bingung dan apa yang terjadi nanti pada jam dua siang. 13.45 WIB Aku melihat jarum jam yang bergeser ke kanan. Tanpa berhenti. Seraya aku menghela nafas. Seperempat jam lagi bisa dipastikan ayah akan menelepon kantor KMI dan mengabari perihal keikutsertaan atau tidaknya aku. Tiga puluh menit berlalu. Aku semakin was-was dan TENG! Bel tanda usainya ujian berbunyi dan aku langsung mengumpulkan kertas jawaban yang sama sekali tak menentu kebenaran isinya. Sepulang dari kamar aku langsuing mengganti baju dan sholat Ashar. 15.45 WIB Aku memulai langkah dengan basmalah, menuju kantor KMI dan menanyakan apakah ayahku sudah menelepon atau belum. Di sepanjang perjalanan aku berdo’a, “Ya Allah, jika kepastian itu benar dan aku bisa berangkat, berikanlah aku kelapangan agar tetap bersyukur. Namun, jika itu semua harus tertunda, berikanlah aku pula kelapangan hai dan jadikanlah pula hari ini sebagai hari terindah dalam hidupku......” Langsung saja, aku menyalami ke dalam kantor dan serempak orang yang di dalam kantor mengenali suaraku. “Ya sebentar, nak.” Aku menunggu dengan was-was. “Rabbi syrohlii shodrii wa yassirlii ‘amrii.” Ustadzah staf KMI pun ke luar dan..... “Nak, tadi ayahmu menelepon katanya supaya kamu belajar yang rajin dan belajar ikhlas. Dan itu berarti, kesempatan akan datang di lain waktu. Yang ikhlas ya.....” Tanpa menjawab apapun, sontak hatiku membeku dan lidah pun membisu. “Benarkah ini?” Aku berjalan pulang dengan langkah tertatih. Disambut dengan gerimis yang memadukan tetesannya dengan hatiku yang semakin berembun. Langkahku semakin cepat, karena awan lama kelamaan menunjukkan aura abu-abunya. Aku kuat! Jika menangis, itu bukan aku! Aku berbicara dengan nada terpaksa. Aku langsung ke kamar kakakku dengan niatan berteduh. Tapi apa daya, aku tak kuat menahan bendungan air mataku. Aku menangis. Kakakku hanya menatapku lirih. “Kamu kecewa?” tanay kakak kepadaku setelah kuceritakan segala yang terjadi seharian ini. Dan aku hanya diam dengan air mata yang terus mengalir. “Untuk apa aku kecewa? Kita masih punya banyak kekuatan! Kita bisa menukar kekecewaan dengan kesuksesanmu meraih beasiswa kelak. Ayah sering bilang, kalau ayah tidak mewariskan harta untuk anak-anaknya. Tapi satu! Ayah mewariskan ilmu biar kita bisa meneruskan hidup menempuh hidup dengan aturan dan cara yang benar. Harta itu bisa dicari, tapi memanfaatkan harta dengan ilmu itu jarang yang mampu merealisasikannya. Kita pun bisa lebih dari itu. Masih ada kakak, ayah, ummi, abang, sama keluarga semuanya.” Aku termenung. Benar yang kakak katakan. Hujan hari itu pun mungkin saja untuk meleburkan segala kesedihanku. Memang, saat itu aku belum bisa menyapa dan merangkul Mesir dengan segera. Tapi siapa sangka jika di kemudian hari, malah Mesir yang menyapa dan merangkulku lebih dulu. Aku bangkit dan mengucapkan salam. Kuseka air mata itu untuk kembali mantap berjalan. Hanya langit yang dapat utarakan rasa itu. Itu saja.

Panggilan Kesayangan By. Zidna Rizky Amalia

Entah berasal dari mana asalnya, yang jelas ini seperti sudah menjadi tradisi yang sudah menahun dan mendarah daging. Yaitu panggilan kesayangan yang ditujukan pada seseorang. Mulai dari nama yang lucu, aneh, sampai yang nggak banget. Ada yang dipanggil karena plesetan nama, gayanya, postur badannya, ejaan nama, atau tambahan imbuhan berupa –cut, -cil, dan sebagainya. Misalnya saja aku. Teman-teman memanggilku dengan sebutan nenek. Suatu hari ada seorang teman bertanya perihal asal-usul panggilan tersebut. Aku tersenyum dan berkata dalam hati. Wah, mereka ini hanya ikut-ikutan saja, ya? Kalau istilah Arab kerennya, taqlid bighoyri huda. Aku menerawang. Mengingat kembali saat itu. Saat dimana nama panggilan itu mulai tersemat dan melekat pada diriku. Saat itu aku kelas satu dan bertempat tinggal di rayon Al-Azhar kamar empat. Pertama kali ibu membelikanku dalaman kerudung berupa ciput. Tentu saja apa yang dibelikan oleh orang tua aku anggap berharga. Kebetulan pula aku memiliki baju yang berbahan kain yang kata orang mirip nenek-nenek. Parahnya aku baru menyadarinya saat kelas empat. Hahahha..... Kami berkumpul di kamar suatu sore seperti biasa. Kelas satu yang sudah mandi, dandan depan lemari masing-masing, dan siap untuk pergi ke masjid. “Zid, itu dalaman kerudungmu, ya?” tanya Rahma, salah seorang temanku. “Iya. Memang kenapa?” tanyaku balik padanya. Rahma bersengut. Sepertinya ia ingin mengutarakan sesuatu. “Kok gimana gitu. Mirip punya nenek ana di rumah.” “Ah, masa’ sih? Nenekku kok nggak punya?” dengan wajah tanpa dosa aku menjawab. “Coba deh pakai!” pintanya. Aku pun mulai beraksi. Dengan bangga aku perlihatkan kepada teman-teman kamar dalaman kerudungku itu. “Lihat, nih!” “Kok anti jadi kayak nenek-nenek gitu sih?” tanya Rosidah. “Ih enggak, tahu! Ini dari ummi,” jawabku membela diri. “Kalau nenek-nenek itu kayak gini,” aku memperagakan gaya nenek-nenek. Aku melipat lidahku. “Cu.... nenek sudh tua, cu!” kataku dengan gaya nenek-nenek. Sontak tawa meledak dari teman-teman kamarku. Hingga kiniku akan menjadi alumni pun teman-teman masih setia memanggilku nenek.meskipun sebenarnya panggilan ini agak gimana gitu, tapi ini adalah wujud kasih sayang dari teman-temanku.